18. I Definitely Fall for You

2K 193 6
                                    

Seperti biasa, perjalanan pulang kami ditemani keheningan, aku terus melirik pria yang sedang mengemudi sepanjang perjalanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti biasa, perjalanan pulang kami ditemani keheningan, aku terus melirik pria yang sedang mengemudi sepanjang perjalanan. Fakta bahwa dia ditinggalkan ibunya di usia sangat muda masih terasa mengejutkan. Aku memang tidak memahami betul lukanya, tetapi pasti sangat menyakitkan jika dengan mendengarnya saja sudah membuatku sangat bersimpati.

Sesampainya di kamar, Aa langsung mandi, lalu mengambil gitar dan memainkannya di balkon. Aku menyusulnya setelah mandi, mengambil tempat di lantai, menemaninya yang sudah lebih dulu duduk berselonjor.

"A, maaf ya, Dara baru tahu cerita tentang ibu kandung Aa." Pria dalam balutan baju kaus putih dan celana jeans selutut itu berhenti memetik gitar.

"Kalau Aa mau cerita, Dara mau kok dengerin. Tapi kalau nggak mau, Dara juga nggak akan maksa."

Beberapa menit berlalu diselimuti sunyi, aku pun beranjak. "Mau ke mana?" tanyanya.

"Dara mau buat teh. Stok kuaci kemarin juga masih ada. Aa mau kan?"

Tanpa menunggu jawabannya, aku turun membuat dua cangkir teh, menyajikannya bersama kuaci, tanpa perisa tambahan untuk Aa dan rasa teh untukku.

Kuletakkan nampan di lantai, di ruang yang tercipta akibat jarak dudukku dengan Aa. Dia meletakkan gitar di pojok balkon, lalu menyesap teh juga membuka bungkus kuaci. Kubiarkan hening kembali menyelimuti saat kami sama-sama mengunyah kuaci, sengaja menunggu Aa memulai konversasi.

"Mama pergi waktu aku delapan tahun," cetusnya pelan. "Waktu itu, kebetulan sekolah dipulangkan lebih awal. Pas sampai depan pagar, aku lihat Mama mau masuk mobil."

Jika bergitu, berarti ibu Aa berniat kabur. Seandainya Aa pulang sesuai jadwal sekolah normal, dia tidak akan bertemu ibunya. Kutatap lekat pria yang sedang bercerita di sampingku.

"Mama datang waktu kupanggil. Dia meluk sambil bilang ada urusan, suruh aku tinggal sama Papa dan jadi anak patuh. Kupikir, Mama hanya pergi sebentar, jadi kulambaikan tangan. Tidak disangka, itu lambaian terakhirku pada Mama."

Sepertinya hati dan otakku sedang tidak sejalan. Tanpa ada aba-aba atau memikirkannya, kudapati diriku sudah menggenggam tangan kiri A Dirga. Dia sempat kaget, tetapi tidak menarik tangannya. Aku memberikan senyum lembut nan penuh simpati saat dia menatap.

"Aku pernah coba cari alamat Mama setelah lulus SMA dan ketemu, dia di Jogja. Suaminya yang ternyata supir kami dulu juga menyambut dengan ramah. Aku menginap semalam di sana, berkenalan dengan sepasang adik tiri. Umurnya nggak beda jauhlah sama Meisya dan Riska."

Sungguh, aku ingin memeluk pria ini. Kesedihan di matanya membuatku tenggelam jauh dalam iba dan berharap bisa menghiburnya. Sudah dua puluh tahun, tetapi luka itu masih tergambar jelas di sepasang maniknya yang hitam pekat.

"Habis itu nggak pernah ketemu lagi?" Aa menggeleng. Senyum kecut tersungging di bibirnya.

"Buat apa? Dari sikapnya aja aku udah tahu dia ingin melupakan masa lalunya. Mungkin Mama pikir aku lebih baik di sini, karena itu dia tidak pernah berusaha menjemputku. Atau ... dia memang lebih bahagia bersama suami barunya."

Me + You = Us [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang