Reagan baru mengalihkan pandangannya dari laptop saat ponselnya berbunyi. Ia langsung mengangkatnya saat melihat nama 'Om Dirga' di sana.
"Halo, Om."
"Halo, Reagan. Malam ini, jadi bisa ke rumah Om, ya?"
Reagan melihat jam di laptop-nya. Ia baru ingat tentang undangan makan malam Dirga. Keningnya berkerut samar saat menyadari bahwa Sesil belum juga kembali.
"Reagan?"
"Bisa, Om."
"Oke, nanti anak Om yang jemput jam tujuh, ya."
"Iya. Makasih, Om."
Lalu tak lama, sambungan telepon dimatikan. Saat ini jam enam, masih ada satu jam lagi sampai anak Dirga menjemput mereka.
Seketika, Reagan dilanda dilema. Ia memutar-mutar ponselnya, menimbang apakah dirinya harus menghubungi Sesil atau tidak.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Reagan memutuskan menghubungi Sesil untuk yang pertama kalinya.
Satu kali, dua kali, tiga kali Reagan mencoba menghubungi Sesil, tak ada satupun yang diangkat. Hingga yang keempat kalinya, ponsel Sesil sudah tak aktif lagi.
Reagan menipisnya bibirnya, marah. Berani sekali Sesil mematikan ponselnya?
Sialan.
***
Sudah hampir pukul tujuh, Sesil masih belum menampakkan batang hidungnya, membuat kekesalan Reagan semakin menjadi-jadi. Ponsel Sesil pun masih tidak aktif.
Tak lama, ponsel Reagan berbunyi. Sebuah pesan dari anak Dirga masuk, mengatakan kalau ia sudah menunggu di lobby.
Tak ada pilihan lain, Reagan akan pergi ke rumah Dirga sendirian.
Reagan keluar dari kamarnya, menuju ke lobby. Ia menghampiri seorang laki-laki yang terlihat seumuran dengannya. Kaus hitam dan celana jeans panjang, sesuai dengan ciri-ciri yang laki-laki itu berikan di pesan.
"Aslan?" Laki-laki itu menoleh. Ia tersenyum sopan, tak lupa mengulurkan tangannya pada Reagan.
"Kak Reagan, ya?" tanya Aslan. Reagan mengangguk, membalas uluran tangan Aslan.
Aslan celingukan. "Sorry to ask, Kak. Tapi.. Kakak sendirian? Kata Papa, berdua sama istrinya?"
"Istri saya lagi sakit, nggak bisa ikut," bohong Reagan.
Aslan mengangguk paham. "Nggak papa, nih? Atau Kakak mau ngerawat istrinya? Saya juga bisa anterin ke rumah sakit, Kak."
Reagan menggeleng. "Nggak papa, kita berangkat aja," ucap Reagan yang langsung diangguki Aslan.
"Ya udah, ayo, Kak."
Perjalanan memakan waktu dua puluh menit. Selama itu, Aslan tak berhenti mengoceh dan bertanya ini itu. Reagan hanya menjawab seadanya, karena pada dasarnya ia memang tidak banyak bicara.
Begitu sampai di kediaman Dirga, Aslan dan Reagan langsung disambut oleh Dirga dan Nayla, istrinya.
"Malam Om, Tante," sapa Reagan sambil menyalami mantan orang kepercayaan ayahnya beserta sang istri.
"Malam, Reagan. Lho, Sesil nggak ikut?" tanya Dirga.
Reagan tersenyum tipis, dan menjawab dengan lancarnya. "Lagi sakit, Om. Dia titip salam dan permintaan maaf karena nggak bisa dateng."
Dirga dan Nayla langsung khawatir. "Mau dianterin ke rumah sakit? Biar Aslan yang anter," tawar Nayla. Reagan menggeleng.
"Tadi udah minum obat, kok, Tan. Cuma dia lagi istirahat aja."
"Ya udah, ayo masuk kalo gitu. Kita makan malem bareng," ajak Dirga sembari merangkul Reagan. Tipe bapak-bapak sekali, Raihan pun sering melakukan itu pada Reagan atau kekasih Mikhayla.
Makan malam berlangsung lancar. Dirga memiliki dua anak, Aslan si sulung, berusia dua puluh tahun. Lalu ada Aurora, si bungsu, masih berusia tiga belas tahun. Berbeda dengan Aslan, Aurora lebih banyak diam, sama sekali tak terlihat tertarik dengan percakapan orang dewasa.
Pukul sepuluh malam, Aslan kembali mengantarkan Reagan pulang. Tak lupa Dirga membawakan makan malam mereka untuk Sesil agar cepat sembuh.
"Lain kali, mampir mampir lagi ke sini. Rumah Om terbuka untuk kamu dan Sesil," ujar Dirga. Reagan mengangguk. "Makasih Om, Tante, untuk makan malamnya."
Begitu sampai di hotel, Reagan langsung naik ke kamarnya. Saat masuk, ia mendapati Sesil yang enak-enakan tidur di sofa bed.
Amarah Reagan memuncak. Laki-laki itu menarik paksa tubuh Sesil hingga gadis itu terduduk. Sesil— yang tadinya sedang tidur, langsung terbangun dengan kondisi jantung yang berhenti berdetak beberapa saat. Keterkejutannya langsung digantikan oleh rasa takut saat melihat wajah tak bersahabat Reagan.
"Puas lo jalan-jalan pake uang gue? Sampe lupa diri, heh? Lupa kalo ada makan malem sama Om Dirga?" tanya Reagan. Ia meremas lengan atas Sesil, membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Re-Reagan, s-sakit.." rintih Sesil.
Ia menghentakkan tangan Sesil kasar. "Kemana aja lo?" desis Reagan sembari menatap istrinya tajam.
"Aku kecopetan," jawab Sesil jujur. "Hape sama tas aku, semuanya diambil." Hanya itu yang bisa Sesil jelaskan. Otaknya blank, hanya untuk menjelaskan kronologi dengan lengkap saja ia tak bisa.
Reagan tak menjawab. Meski Sesil berkata jujur sekalipun, sama sekali tak bisa menyurutkan amarahnya. Reagan merasa disusahkan. Sebenarnya hanya itu alasannya. Tapi karena ini Sesil, Reagan tak bisa menahan emosinya.
Sebegitu besar kebencian Reagan terhadap seorang Sesilia Adiputra.
"Dari dulu sampe sekarang, lo cuma bisa bikin gue susah tau nggak," ucap Reagan tajam. "Bahkan ngejagain barang-barang lo sendiri aja, lo nggak bisa. Lo bikin gue harus nyari alesan biar keluarga Om Dirga nggak curiga. Lo tau?" Reagan menjeda ucapannya. "Keberadaan lo selalu jadi gangguan di hidup gue."
Hati Sesil seperti ditusuk pisau karena ucapan Reagan. Disini, ia yang terkena musibah. Tapi Reagan tetap saja menyalahkannya.
Aku yang korban disini, Reagan. Kamu jahat banget.
Sayangnya, Sesil hanya bisa mengatakannya dalam hati. Bukan tak mau, namun Sesil tak bisa.
"Maaf," lirih Sesil akhirnya. Hanya itu yang bisa Sesil katakan. Ia yang harus selalu berada dalam posisi salah.
Reagan menarik dagu Sesil, memaksa gadis itu menatapnya. "Lo dengerin baik-baik ya, cewek sialan," desis Reagan. "Sekali lagi lo nyusahin gue, gue nggak akan segan-segan ngelempar surat gugatan cerai ke wajah lo."
Sesil langsung terbelalak. Ia dilanda panik. Dengan tangan gemetar, gadis itu menyentuh tangan Reagan yang mencengkram dagunya.
"Aku mohon jangan. Aku nggak mau kita cerai, Reagan, aku minta maaf," mohon Sesil. "A-aku nggak akan nyusahin kamu, aku janji. A-aku bakal berusaha jadi istri yang baik untuk kamu. Tapi tolong, jangan ceraiin aku."
Reagan mempererat cengkramannya sejenak sebelum menyentak dagu Sesil kasar. Laki-laki itu menarik napasnya dalam, berusaha menetralkan emosinya. Detik selanjutnya, Reagan berlalu begitu saja, meninggalkan Sesil yang masih gemetar.
Buat yang blm tau, Reagan & Sesil dijodohin. Mereka udah tunangan sejak 4 taun lalu. Buat yang udah baca Between Love and Lies seharusnya udah tau soal perjodohan mereka, buat yang blm nggak papa aku jelasin lagi hehe
Btw, cerita ini bakal up tiap hari Selasa & Jumat yah.. Biar lebih teratur aja gitu hehe
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!! 👋🏻👋🏻
Behind Her Smile.
29-6-2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEHIND HER SMILE ✓ [TERBIT]
ChickLit‼️ PART SUDAH TIDAK LENGKAP ‼️ Pre order: 14 Mei 2022 - 28 Mei 2022 SPIN OFF "BETWEEN LOVE AND LIES" (Dapat dibaca terpisah) Reagan terpaksa harus menikah dengan Sesil, gadis periang yang sama sekali tak dicintainya. Bukan rasa cinta yang tumbuh, me...