BHS | 11

42.1K 3.9K 1K
                                    

Setelah menyelesaikan administrasi, Reagan melangkah kembali memasuki kamar rawat gadis tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah menyelesaikan administrasi, Reagan melangkah kembali memasuki kamar rawat gadis tadi. Pandangan mereka bertubrukan beberapa saat, sebelum Reagan mengalihkan pandangannya.

"Hubungi keluarga lo," ucapnya sembari menyerahkan ponsel miliknya. Gadis itu hanya menunduk, menatap ponsel Reagan cukup lama.

"Aku nggak punya keluarga," ucap gadis itu akhirnya.

"Sahabat? Kerabat? Sama sekali nggak ada?" tanya Reagan. Gadis itu menggeleng lagi. Ia mendongak, menatap Reagan. Detik itu juga, Reagan terdiam.

Cantik, batinnya. Dilihat dari jarak dekat, gadis itu benar-benar cantik. Bahkan dengan lebam di seluruh wajah dan penampilannya yang berantakan pun, gadis itu masih tetap cantik.

Reagan langsung mengalihkan pandangan dan berdeham saat kesadarannya sudah terkumpul kembali.

"Kamu tinggal aja, makasih udah bantuin aku," ucap gadis itu. Ia merogoh kantong, lalu mengambil ponselnya, dan menyerahkannya pada Reagan. "Bisa masukkin nomor hape kamu? Sekalian nomor rekening. Aku janji bakal ngembaliin uang kamu secepatnya."

Entah kena angin apa, Reagan memasukkan kontaknya, namun tidak dengan nomor rekening. Ia mengembalikan ponsel itu kembali pada sang pemilik.

"Nggak usah ditransfer. Kalo butuh apa-apa, lo bisa kontak gue," ucap Reagan. Mati-matian ia berusaha meredam keinginannya untuk menanyakan nama gadis itu.

"Aku nggak mau berhutang," ucap gadis itu. "Aku bakal kembaliin, Reagan," ucapnya. Ada desiran aneh dalam tubuh Reagan saat gadis itu memanggil namanya.

"Terserah," jawab Reagan. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah mengapa, tiba-tiba Reagan gugup.

"Nama lo, siapa?" tanya Reagan setelah lama sekali terdiam. Rasa ingin tahunya yang terlampau besar membuat Reagan tak bisa menahan diri.

"Sarah," jawab gadis itu. "Sekali lagi makasih, Reagan. Sebagai gantinya, kamu boleh makan sepuasnya di cafe. Kapan aja. Gratis."

Reagan tersenyum tipis. "Gue balik dulu. Kata dokter, besok lo udah boleh pulang. Ada jemputan?"

Sarah kembali menggeleng. "Aku bisa pake taksi online."

"Besok gue jemput, mau?" tanya Reagan. Sungguh, ia benar-benar bukan seperti dirinya sekarang. Reagan tidak pernah sepeduli ini pada siapa pun.

"Nggak usah," tolak Sarah lembut. "Nanti ngerepotin."

"Besok gue jemput," ucap Reagan final. "Lo istirahat. Gue balik dulu."

"Nggak usah, Re— Reagan!" Belum selesai kalimat Sarah, Reagan sudah lebih dulu meninggalkan kamar VIP tempat gadis itu berada.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Reagan terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Untuk pertama kalinya, Reagan merasakan debaran aneh pada jantungnya saat berdekatan dengan perempuan. Darahnya berdesir saat gadis bernama Sarah tadi memanggil namanya.

Seumur hidupnya, Reagan tak pernah memperlakukan perempuan asing selembut itu. Mungkin hanya keluarga atau sahabatnya saja, seperti Bianca dan Nela. Apalagi pada Sesil, istri yang tidak pernah Reagan anggap.

Mengingat Sesil, senyum tipis Reagan yang tadi terukir, langsung menghilang. Gadis itu... entah mengapa Reagan sangat membencinya. Hidup Reagan terasa baik-baik saja, sampai tiba-tiba Maheswara, kakeknya mengumumkan di depan orang banyak bahwa Reagan akan bertunangan dengan Sesil, gadis enam belas tahun yang sama sekali tak pernah Reagan dengar namanya.

Reagan memarkirkan mobilnya di tempat semula, lalu turun. Saat ia hendak masuk, Pak Adi— salah satu satpam yang sedang bertugas, berlari menghampiri.

"Pak, ini ada titipan dari Bu Sesil," ucap Pak Adi. Reagan menatap tas yang dibawa Pak Adi itu sejenak, sebelum mengambilnya.

"Makasih, Pak," jawab Reagan, tanpa bertanya apapun. Pak Adi mengangguk. "Tadi Bu Sesil datang, Pak. Lalu saya antarkan ke lift direksi. Nggak lama, Bu Sesil turun lagi, lalu menitipkan ini ke saya. Katanya, ruangan bapak dikunci."

Reagan mengangguk. Sebenarnya, ia sama sekali tak ingin tahu. "Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum tipis. Sangat memperlihatkan wibawa seorang pemimpin.

Setelah itu, Reagan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam gedung kantor. Begitu sampai di ruangan, ia meletakkan tas titipan Sesil asal, lalu segera mandi dan mengganti bajunya. Lalu, laki-laki itu pun tertidur.

***

Pagi menyapa. Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai yang tak tertutup, membuat Reagan mengerjapkan matanya perlahan. Laki-laki itu melihat jam digital yang terletak di atas nakas. Sudah pukul tujuh pagi.

Reagan bangkit, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap. Setelah itu, ia segera memakai pakaian kerjanya, dan melangkah menuju ruang kerjanya. Tatapannya tertuju pada tas yang sejak semalam belum ia buka sama sekali. Hanya sebentar, sebelum Reagan kembali pada tumpukan berkas yang menggunung.

Konsentrasi Reagan buyar saat ia mencium bau tak sedap memenuhi ruangannya. Ia memanggil cleaning service, lalu menyuruhnya mencari asal bau tak sedap tersebut.

"Baunya dari sini, Pak," ucap Bu Anita, cleaning service yang sejak tadi menyusuri ruangan Reagan. Wanita itu menunjuk tas yang diberikan Sesil semalam. "Boleh saya buka? Kayaknya makanan."

Melihat Reagan mengangguk, wanita itu pun segera membongkar tas tersebut. Saat Bu Anita mengeluarkan dua kotak makan dari dalam, bau tak sedap itu semakin menguar.

"Oh, pantes. Ini santan soalnya, Pak. Kalau nggak masuk kulkas ya bau," ucap Bu Anita. "Ini diapakan, Pak?"

"Buang saja," ucap Reagan langsung. Ia menutup hidungnya, tak tahan dengan bau tak sedap itu. "Setelah itu tolong bersihkan ruangan saya, ya."

"Ini kalau mie gorengnya masih bisa dimakan Pak, kayaknya. Apa ma—"

"Buang saja semuanya," titah Reagan. "Buang sekaligus tas dan kotaknya."

Bu Anita mengangguk patuh. Ia keluar untuk membuang semua tas dan kotak makan itu, lalu kembali dengan membawa peralatan untuk membersihkan ruangan Reagan.

"Maaf, Pak. Saya bersihkan dulu ruangannya."

***

Waktu terus berjalan. Hingga tak terasa, sudah pukul sebelas siang. Reagan melihat jam yang melingkar di tangannya, lalu berdiri, dan melangkah keluar dari ruangan. Ia memasuki ruang kerja Nuel yang terletak di sebelah ruangannya.

Nuel yang melihat atasannya tiba-tiba masuk, langsung berdiri. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Saya ada urusan sebentar. Saya akan kembali setelah jam makan siang. Kalau ada berkas yang harus saya tanda tangani, taruh saja di meja saya."

"Baik Pak," balas Nuel seraya mengangguk.

Reagan melangkah menuju mobilnya, tak lupa membalas sapaan satu dua pegawai yang menyapanya. Hanya dengan anggukan kepala, tanpa senyum atau embel-embel lain.

Tak butuh waktu lama sampai mobil yang dikendarai Reagan melaju di jalanan menuju rumah sakit.

Untuk menjemput Sarah.

Yang mau menghujat Reagan, dipersilahkan 👉🏻👉🏻


Behind Her Smile.
9-7-2021.

BEHIND HER SMILE ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang