Agracia Euna memang termasuk kategori orang aneh. Setelah mati tragis setengah bodoh karena menyebrang jalan sembari bermain ponsel, alih-alih bersedih, dia justru bahagia.
Memasuki tingkat kekonyolan baru, tidak cukup sebatas dikirim ke surga atau...
6K+ kata, semoga nggak bosen yaa, nanggung banget kalo kubagi jadi dua bab soalnya😪✌
Aku tambahin terjemahan di beberapa kalimat, boleh tuh dikoreksi kalo ada yang salah, kurang tepat, atau typo nyiehehehe😁👍
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ringisan tertahan merayap ke penjuru ruangan, kaki-kaki mungilnya bergetar menahan panas yang mendera, bekas merah hingga kebiruan menghiasi setiap jengkal kulitnya. Seorang anak laki-laki memejamkan matanya erat-erat, mencoba menyeimbangkan beban buku-buku tebal di atas kepalanya.
CTAAAAR
Lesung pipinya terkeruk ketika bocah itu melipat bibir, menahan isakan yang hendak keluar.
"48." wanita di hadapannya menyebut dua pasang angka---yang berarti sudah puluhan kali cambuk di tangannya mendarat pada tubuh sang anak.
Mencibir malas, wanita itu kembali memukul kuat-kuat cambuknya hingga beberapa tetes darah mulai mengalir di kaki anaknya.
BRUUUKK!
Bocah itu melotot horor saat sadar buku-buku di kepalanya telah tercecer begitu saja dengan tubuh dalam posisi terduduk di lantai.
Tidak, ini sungguh mimpi buruk!!! Ia tidak seharusnya jatuh, tidak, tidak!!!!!!
Anak itu menggeleng kuat-kuat pada sang ibu, sadar akan hukuman lebih yang menantinya. Sungguh, ia sudah tidak sanggup menahan siksaan---sekali terjatuh berarti dua kali lipat cambukan. Kakinya bisa patah jika begini.
Ia bahkan tidak mampu merasakan kakinya lagi, apalagi menggerakkan? Bertahan berdiri saja sulit---panas, perih, dan nyeri semua bercampur aduk membuat kepalanya pusing.
Wanita itu melempar cambuknya ke sembarang arah, berjongkok lantas mencengkram kuat kedua pipi anaknya. "Berdiri, kakimu masih utuh, bukan?"
Anak itu kehilangan kontrol atas tangisnya merasakan kuku tajam sang ibu menancap dalam di pipinya. "Jangan pernah memanggilku seperti itu lagi dengan mulut kecil terkutukmu!!!! SUDAH BERAPA KALI KUKATAKAN TAPI KAU MASIH TIDAK PAHAM JUGA!"
"......maaf, heunggg----heuk, hiks...."
Bukannya iba, wanita itu justru semakin gemas ingin meremas kepala anaknya yang menangis kian pilu. "Orion De Alger. Ayo, ulangi dengan bangga!!!"
"Orion... O-O-Orion... Orion De Alger."
"Bagus," pujinya, tersenyum miring. "Dan katakan, siapa yang melahirkanmu?"