Our Slice Of Life [14]

1.5K 220 18
                                    

Sejak kemarin sore ketika Abang kembali dari kegiatan PKL, raut wajahnya terlihat tidak bahagia. Entah apa yang Abang pikirkan. Tapi aku sendiri belum berani bertanya lebih lanjut. Takut Abang merasa terganggu dan belum siap cerita.

Namun, memang nggak biasanya Abang seperti ini. Biasanya Abang selalu cerita se-lelah apapun keadaannya.

Kasihan Abang. Pasti sedang menanggung pikiran macam-macam sendirian, "Sarapan dulu, Bang."

Aku menyapa Abang dengan menyembulkan kepala dari balik pintu kamar. Disana, Bang Ihra tengah duduk di ranjang setelah selesai mandi. Kebetulan ini hari libur Abang. Walaupun bukan weekend, tapi karena Abang libur, biasanya dia antusias sarapan bersama dan mengajakku mengobrol.

"Bentar, kamu duluan aja, Bit." Ujar Abang menatapku sekilas lantas bangkit menuju lemari pakaian.

Aku menutup pintu perlahan. Memberikan ruang pada Abang untuk bisa menikmati waktu dengan pikirannya sendiri.

Sambil bergerak turun ke ruang makan, tak hentinya aku mengelus perut dengan lembut seraya menggumamkan kata-kata abstrak yang keluar untuk mengajak bicara Mas Bibi.

Walaupun Mas Bibi hanya bisa merespon dengan tendangan, aku masih tetap antusias untuk mengajaknya bicara. Katanya sih bicara dengan janin akan membantu merilekskan janin dan kita sendiri sebagai ibu.

Selesai menata meja, aku duduk di kursi yang berhimpit pas dengan meja bar. Abang masih belum turun juga.

Kulirik kearah tangga, masih belum tampak kehadiran Abang. Hingga beberapa menit selesai menyendok nasi keatas piring, Abang terlihat disana.

Hari ini aku masuk kuliah, namun kelasnya agak siang. Jadi masih ada cukup waktu untuk bercengkrama bersama Abang.

"Bita nggak masak ya, Bang. Cuma goreng nugget sama telur."

Abang mengangguk, "Makasih, Bit. Yuk makan bareng," Ajak Abang dengan suara yang kurang bersemangat.

Aku sangat ingin menegur Abang. Tapi takut Abang terganggu, "Abang nggak papa, kan?" Tanyaku akhirnya tak kuasa menahan penasaran, "Nggak papa, kok. Emang Abang ada yang beda ya, Bit?"

Aku menggeleng, "Nggak sih. Cuma kelihatan kurang semangat aja. Cerita dong, Bang kalau ada sesuatu."

Abang tersenyum miring, "Biasa, Bit, Problematika hidup nggak habis-habis."

"Ya mangkanya atuh Bang. Kita selesain bareng-bareng,"

Abang menggeleng, "Jangan jadi beban buat Bita, lah. Abang nggak mau Bita kepikiran,"

"Mana ada sih, Bang? Abang yang bilang sendiri harus sering cerita kalau ada masalah,"

"Yakin?"

Aku mengangguk antusias, "Yakin. Bundanya Mas Bibi kepo tahu-"

Abang tersenyum, "Ini tentang Papa, Bit,"

"Papa- Papa Fardan? Papa kandung Abang?"

Abang mengangguk, "Iya, Papa kemarin hubungin Abang. Minta Abang datang ke pernikahannya."

Sejenak aku terdiam. Aku nggak pernah merasakan apa yang Abang rasakan sebagai anak tunggal dan keluarga broken home. Kasih sayang orang tuaku sangat besar. Keluarga yang terlihat sempurna dan lengkap. Banyak orang yang menyebutnya seperti itu. Tapi Abang... dia terlalu benci Papa nya sendiri atas apa yang beliau lakukan di masa lalu.

Saatnya Jatuh Cinta! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang