Ketika Kita Akhirnya Berpisah [20]

789 121 7
                                    

Dua hari pasca perkataan Bita hari itu, gue nggak bisa tidur sepanjang malam. Bukan perkara menceraikan, gue nggak pernah berkeinginan menceraikan Bita satu kali pun dalam kondisi seperti ini. Apalagi kita baru saja kehilangan calon anak, orang gila seperti apa yang tega melakukan hal itu. Entah ada pemikiran dari mana sehingga Bita ingin bercerai, gue tahu dia kecewa, tapi gue mencoba ikhlas. Walaupun pasti lebih berat bagi Bita, yang hampir enam bulan membersamai calon anak kami di dalam perutnya, agaknya pernyataan itu cukup membuat gue sakit hati. Pasalnya gue baru ingin mengajak Bita liburan⸻untuk refreshing dan kebetulan dia mengambil cuti semester nya⸻dan yang gue terima adalah ini.

Gue nggak habis pikir, bahkan untuk membenci atau menyesalkan ini sekali pun pada Bita, gue nggak pernah ingin. Karena gue tahu, Bita sudah berjuang.

Sekarang, gue duduk di depan lapangan bola di kampus gue. Kepala gue terus menggeleng ketika kilatan pernyataan itu muncul ... Gue lelah, tapi akhirnya gue hanya menyetujui soal berpisah. Bita minta berpisah sementara waktu, kemarin sudah ada pembicaraan bersama dua keluarga soal kondisi ini. Bita terguncang secara emosional, dia nggak baik-baik saja⸻setelah Mimma dan Ayahnya membawa Bita ke salah satu psikolog kemarin⸻sementara gue sendiri hanya bisa berusaha tegar dan kembali menjalani kehidupan normal gue seperti biasanya.

“Ngapain, Ram?” Kul menyapa gue santai. Duduk di samping gue sambil menyalakan rokoknya.

Melihat hal itu, gue menumpu kedua tangan, berlagak berdoa.

“Semoga setelah merokok, teman gue ini mampus. Amin⸻”

Anjir! Doa lo, Ram. Nggak, nggak, nggak ngerokok gue.” Ujar Kul seketika ketakutan setelah gue bercanda mendoakan yang jelek untuknya.

Gue nggak merokok sejak awal. Gue hanya pernah coba sekali, itu pun saat SMP dan gue menyerah. Karena setelah itu gue sampai sakit tenggorokan satu minggu.

Rokok memang membunuhmu, bukan membunuhku, tapi menggangguku, bukan hanya kamu⸻itu perkataan Bita yang gue ingat di awal pernikahan kita.

Berhubung Bita sejak SMK bersekolah dimana temannya mayoritas laki-laki, dia selalu merasa terganggu, jadi karena itu ia menghimbau gue untuk nggak pernah coba benda semacam rokok dan turunannya.

Ah ... Gue teringat Bita lagi.

“Mangkanya, jangan.” Gue memperingati.

“Lo ngapain disini, Ram? Nggak balik?”
Gue menggeleng.

“Nggak, nanti dulu. Lagi santai, tanggung.”

“Gaya lo ... Biasanya kalau diajak kumpul anak-anak, lo sering nggak mau. Giliran sendirian, bisa tahan lama-lama. Di depak istri apa gimana?” Tanya Kul meledek gue.

Gue menatapnya acuh.

“Heh ... Kalian itu kalau nongkrong nggak cuma lama, menghabiskan duit juga. Duit gue pas-pasan. Namanya sudah punya rumah tangga, nggak bisa main terus.” Terang gue.

“Lah trus? Ini gimana? Nangkring disini maghrib-maghrib. Kesambet baru tahu.”

“Gue lagi capek, Kul. Lelah, punggung gue berat⸻”

Fix, ketempelanaw! Anjir kepala gue!” Keluh Kul ketika gue memukul kepala belakangnya.

Kalau ngomong nggak pikir-pikir.

Ketempelan-ketempelan, tuh baju balik dulu baru ngomong. Memang dasar orang ngawur!” Kata gue menunjuk baju Kul yang ternyata terbalik.

Dasar orang separo ...

“Ah bodo amat, lah. Baju terbalik, persetan. Gue waktunya menemani sohib tercinta yang sedang galau merana, durjana, hiya, hiya.” Ujar Kul ngawur sambil terkekeh.

Saatnya Jatuh Cinta! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang