Ketika Abang Tak Disisiku [22]

694 113 4
                                    

" ... thanks, Dean. Lo sudah lama sama kesibukan ini?" Tanyaku ketika Dean meletakkan segelas coffe latte dingin dengan kadar susu lebih banyak dibandingkan kopinya. Aku bukan penikmat kopi sejati, karena lambung ku tak bisa menoleransi kafein terlalu banyak. Sambil menyesap dinginnya cairan kopi yang masuk ke dalam tenggorokanku, aku menatap tangan lihai Deandra ketika menusukkan jarum ke dalam bahan kain yang aku sendiri tidak paham jenis apa. Teksturnya kasar dan agak kaku.

"Lumayan, Bit. Waktu itu sempat ikut pelatihan kriya, gue tertarik sama kristik. Nah, kainnya keras kan? Beda sama kain biasa. Ini kain khusus jahitan kristik, Ta, namanya strimin. Biasanya gue bisa mengerjakan satu jahitan bentuk pigura standar sekitar satu minggu lah, tergantung juga sih sama kerumitan gambarnya." Terang Deandra.

Aku menatapnya takjub. Selama ini aku tak terbiasa menjahit⸻maksudnya, jika ada pakaian yang rusak, biasanya Mimma akan membawanya ke penjahit. Tapi sepertinya ini jenis jahitan yang berbeda, menarik sekali.

"Keren lo, ketemu saja sesuatu yang berbeda, menarik banget ini loh." Puji ku.

Dean hanya tertawa.


"Kayaknya anti-mainstream saja gitu, Ta. Bosen sama yang biasa-biasa."

Aku dan Deandra saling bercengkrama di salah satu cafe⸻tempat nongkrong lebih tepatnya⸻milik Kakak pertamanya. Dean anak ketiga, dan kedua Kakaknya itu kembar, namun beda jenis kelamin. Pemiliknya ini laki-laki, dan baru berdiri kurang lebih dua tahun. Jadi memang belum terlalu lama.

Minuman disini enak, makanannya pun ber-variasi. Namun bukan itu yang sebetulnya membuatku betah berbincang dengan Dean, karena mengisi waktu dengan kesibukan baru kurasa akan lebih baik dibandingkan terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri di dalam rumah. Aku juga memutuskan cuti kuliah satu semester ini untuk merilekskan pikiran, belum lagi kondisi fisik yang seketika drop dan kondisi nifas yang lumayan lama, membuatku makin tak mampu jika harus tetap berangkat ke kampus, secara emosional. Ini keputusan berat sebetulnya, karena jika aku cuti, maka masa kuliahku akan lebih lama.

Di samping kondisi fisik yang berubah, aku juga merasa jika ketika aku tetap berangkat ke kampus seperti biasa, lingkungan kemungkinan tak berkompromi dengan diriku. Belum lagi teman organisasi Abang sudah tahu soal pernikahan kami, aku makin tak ingin jika ada banyak pertanyaan yang diajukan kepadaku.

Omong-omong soal Abang, sejak terakhir kami berpisah tinggal, aku memutuskan untuk tidak berkontak dahulu dengan Abang, aku mem-blokir nomornya. Tega⸻ya, aku tega. Tapi aku merasa tak kuasa untuk menahan gejolak kesedihan jika Abang ada di dekat ku. Efek trauma itu sangat mengambil alih sebagian kesadaranku terhadap Abang. Aku tak bisa menatap Abang, bahkan jika mendengar suara Abang pun aku merasa takut. Ini bukan kesalahan Abang, aku paham ini takdir, tapi kekecewaanku mengatakan bahwa Abang tak pantas denganku⸻lagi.

Maka sejenak, aku mengalihkan pikiran ku pada hal lain dan banyak-banyak berkonsultansi dengan psikolog, untuk memulihkan kestabilan emosi dan kontrol diri.

Sehingga disinilah aku, bersama Dean, aku merasa sedikit lebih hidup. Ada hal yang membuatku berminat untuk mengisi waktu, selain menekuri diri dan banyak-banyak memohon ampun pada yang maha kuasa atas segala kesalahan yang aku perbuat, untuk kebaikan diriku sendiri kedepannya⸻karena aku tahu, meninggalkan Abang adalah kesalahan.

Walau begitu, aku merindukan sosok Abang. Aku tidak bisa bilang bahwa cinta itu tidak lagi ada, justru rasanya semakin melekat. Abang memang tak lagi menyinggung soal kata cinta, sejak hari di mana aku begitu menginginkannya. Tapi aku tahu, Abang menyampaikan cinta lewat perlakuannya.

Ah ... Menyesal sudah terlambat, waktunya memperbaiki kondisi ku dan bersiap untuk hari baru ke depan.

"Memang lo banget, ya ..." Ujarku terkekeh.

Saatnya Jatuh Cinta! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang