Kejutan [10]

2K 279 11
                                    

“...oh gitu. Ya..., nggak papa sih, Ram. Kebetulan juga gue nggak jadi datang karena Papah gue tiba-tiba ngajak pergi ketemuan sama salah satu teman kerjanya. Makan malam.”

“Tapi tetap jalan, ‘kan?”

“Iya, katanya tetap jadi. Semalaman itu gue nggak pegang handphone juga. Papah gue agak marah karena awalnya juga gue maksa buat ikut.”

“Yaudah kalau gitu, Jih. Yang penting tetap jalan. Ada atau nggaknya kita.”

Gue berhenti di depan gedung tempat gue akan melaksanakan praktikum. Tadi, gue bertemu Jihan di parkiran. Buru-buru gue bilang sama dia kalau gue minta maaf nggak bisa datang ke acara reuni kita kemarin. Jihan maklum. Dan konyolnya dia juga nggak hadir. Gue sangat bersyukur. Karena ternyata gue nggak buat dia kecewa. Memang nggak enak rasanya meninggalkan Bita semalam, tapi nggak enak juga kalau harus datang dalam keadaan kami yang nggak baik-baik saja.

“Yaudah, Ram. Gue duluan, ya.”

“Iya, Jih. Hati-hati.”

Gue dan Jihan berpisah di depan gedung. Melangkah pelan, gue menuju laboratorium praktikum.

Melihat kilas balik keadaan gue dan Bita semalam, memang bisa di bilang cukup chaos. Pasalnya, gue nggak pernah sekalipun teriak membentak Bita. Jujur, rasa bersalah gue teramat besar. Bita seharusnya nggak bicara yang memancing emosi gue. Mungkin karena gue juga sedang lelah selepas balik dari kampus.

Tapi ya sudahlah. Sudah clear juga semuanya.

Gue memasuki ruangan praktikum. Sebelum gue masuk, beberapa teman gue yang tadinya tampak berkumpul di dalam, tahu-tahu mereka semua keluar.

“Eh, Tris, kok pada keluar?”

“Lo nggak baca WA, Ram? Kelas libur mendadak. Ada kunjungan chef dari paris ke gedung serbaguna. Dosen di giring ke sana semua,” Waduh, “Balik deh gue. Pening banget kepala.”

Gue mengangguk. Ah... Rejeki banget.
Mendadak kebayang bagaimana rasanya berbaring di ranjang...

Selamat istirahat, Ramaaa!

-

“...makasih ya, Bit. Gue duluan.”
Aku duduk di depan selasar ruang kelasku hari ini. Memandang sekitar, cukup ramai dan sedikit panas cuaca hari ini. Duduk sebentar mungkin baik untuk diriku yang sedikit kurang sehat.

Sejak kejadian semalam, aku dan Abang memang menjadi lebih dekat. Kami saling berbicara seolah berusaha mengingat hal yang baik saja. Itulah salah satu cara Abang yang aku suka.

Aku tahu, itu salahku membuat Abang marah besar hingga berani membentak. Aku yang sudah memulai keadaan chaos semalam. Tapi aku memang dalam mode cemburu besar ketika mendengar nama itu keluar dari mulut Abang. Perempuan itu mungkin tidak salah, dan jika dia tahu Abang sudah menikah, masalahnya mungkin tidak se-besar semalam. Tapi siapa yang tahu? Pelakor itu banyak!

Omong-omong, sudah dua hari juga rasanya kepalaku sering pusing. Berhubung dua hari lalu adalah hari rabu dan kamis yang kebetulan pada semester ini aku hanya memiliki satu mata kuliah pada masing-masing hari itu, akhirnya aku lebih banyak istirahat. Selain kepalaku sering pusing, perutku pun sering terasa kram. Sekitar seminggu ini bahkan aku sering sekali merasakan ciri-ciri masuk angin seperti mual dan sakit perut. Tapi jika Abang tahu, dia akan sangat panik dan melarangku masuk kuliah. Mungkin saja ini efek penyakit maagku kambuh, yang sudah hampir dua tahun tidak kambuh.

“Belum pulang, Bit?”

“Oh! Kal? Belum... Lo belum juga? Ada acara sama anak-anak fotografi ya?”

Reikal disana. Berdiri menyapaku kemudian duduk disampingku. Laki-laki itu tampak membawa tas kamera besar di depan dadanya. Kupikir acara kampus lagi, “Nggak sih. Gue memang lagi cari spot foto aja belakangan setelah pulang kuliah. Lo sendirian, aja?” Tanyanya.

Aku mengangguk. Bukan aku hendak memperlambat waktu pulang, tapi kepalaku mendadak pusing. Apalagi tadi masih terlalu ramai. Dan ke ramaian anak-anak di fakultas membuat kepalaku tambah pusing.

“Belum, tadi habis ngobrol sama Ria. Jadi mager jalan lagi,” Reikal mengangguk, “Teo mana, Kal?”

Reikal tahu-tahu tertawa kecil, “Nyokapnya ke Jakarta hari ini. Tadi sih mau ngajak bareng. Tapi  tiba-tiba dia cancel. Gue jadi bingung mau kemana.”
Aku mengangguk. Reikal ini anak UKM fotografi. Kegiatannya tidak terlalu sibuk. Tapi cukup menyenangkan. Hampir semua foto hasil jepretannya mengisi kolom feeds Instagramnya.

“Lo nggak nunggu siapa-siapa, kan, Bit?” Tanya Reikal lagi. Aku menggeleng, “Kenapa?”

“Mau balik bareng? Gue antar.”

Masih jam setengah dua siang. Dan karena ini hari jumat, Abang pulang cukup sore.  Mungkin ide yang bagus. Lagipula hanya pulang bareng, “Boleh sih. Memang searah?” Tanyaku.

“Lo tebet, ‘kan? Searah, kok.”

“Oke deh boleh.”

Nggak papa, lah. Lagipula Cuma pulang bareng. Abang juga pulang nanti sore. Kebetulan juga kepalaku semakin pening. Mungkin lebih baik aku pulang ke rumah di temani seseorang.

Lumayan irit ongkos juga.

-

“Nggak, Bang! Dia Cuma antar Bita pulang karena kebetulan se-arah!”

“Oke, oke, Abang mengerti. Tapi lain kali jangan pulang bareng dia lagi, Bit. Abang atau kamu nggak tahu kan kalau dia punya niat jahat apa. Belum lagi naik motor. Takut jadi fitnah juga.”

Aku mengangguk. Benar kata Abang. Sungguh tidak terpikir sampai sana.
“Maaf ya, Bang. Nggak akan Bita ulang. Habis, hari ini kayaknya Bita kurang sehat.”

Aku menyandar pada kepala ranjang. Meluruskan kakiku sambil sesekali memijat dahiku. Mendadak terasa pening, “Yaudah,” Abang melirikku, “Kamu sakit, Bit? Kenapa nggak telpon Abang?” Tanya Abang mendadak.

Aku mengangguk kecil, “Sudah semingguan ini sering nggak enak badan, Bang. Bita juga nggak tahu. Mungkin maag Bita kambuh lagi. Soalnya emang belakangan perut juga nggak enak, sering mual juga.”

Abang tampak berpikir. Dahinya berkerut tampak berpikir keras. Pandangannya teralih dariku. Abang selalu begini setiap kali mendengar kata sakit keluar dari bibirku. Entah apakah ketika aku sakit karena periode bulanan, atau saat aku sakit karena tidak sengaja terantuk meja akibat menunduk mengambil sesuatu yang jatuh.

Dan itu terkadang lucu. Diam-diam aku tersenyum melihat Abang. Tangannya bahkan tak berpindah dari bahuku. Yang sebelumnya terlihat marah, berubah menjadi khawatir tingkat tinggi. Abang selalu begitu, “Ke dokter, ya?”

Aku mengulum bibir. Enggan sebetulnya ke dokter. Selain lemas, aku pun kurang suka bau rumah sakit, “Jangan ke rumah sakit tapi ya, Bang. Klinik aja.”

“Nggak suka baunya banget? Padahal orang tua kamu dua-duanya dokter loh, Bit,” Abang terkekeh, “Aneh ya, Bang,” Aku ikut terkekeh.

“Dasar kamu tuh spesial pakai telor.” Canda Abang.

Abang kemudian mengajakku ke kamar dan membaringkan tubuhku ke ranjang. Lemas makin melanda, di tambah kepalaku makin berat rasanya.

Kenapa aku tidak menghubungi orang tuaku sendiri untuk urusan sakit? Karena aku tidak mau mereka repot dengan anak semata wayangnya. Jika Bunda atau Ayah tahu aku sakit, keduanya akan sangat repot. Sementara aku juga tidak merasakan efek parah. Hanya khawatir jika nantinya maagku menjadi parah seperti sebelum-sebelumnya.

Sementara Abang pamit keluar untuk memanggil nasi goreng langganan yang lewat di depan rumah kami, aku mencari ponsel. Takut-takut kelompok kelasku menghubungi untuk menjadwalkan rapat pertemuan.

Randi : ...Bu Erina kayaknya hamil lagi deh, soalnya mual-mual terus dari tadi siang, ‘kan. Baru juga tahun lalu lahiran. Sudah hamil lagi aja.”

Giandra : Julid aja lo, Ran. Jadi laki kok mulutnya begitu.

Randi : Repot lagian anjir, masa dari tadi siang bolak-balik kamar mandi. Kalau nggak gitu, ini tugas nggak harus dijadiin kerkol. Malas banget gue.

Mual? Hamil? Memang sih, Bu Erina sejak tadi siang selalu izin ke toilet. Alasannya karena beliau mual-mual. Sepertinya memang kurang enak badan. Aku agak tidak tega melihat beliau. Kebetulan Bu Erina adalah salah satu dosen yang terkenal masih muda di program studiku. Tergolong dosen baru juga. Belum lama juga melahirkan anak pertama. Wajar saja jika memang beliau tengah hamil lagi. Sudah setahun lebih sejak kelahiran anak pertamanya.

Malahayu : Udah deh, sekarang mending bahas kelompokkan. Kamis depan kumpul woy!

Hanif : Tahu nih bacot banget si Randi. Kek cewek, bego, lo.

Me : Jangan begitu gais, kasian itu Bu Erina. Nanti ngerasain sendiri kalian kalau dah jadi bapak-bapak. Dah, lanjut rapat!

Aku ikut membalas pemabahasan barusan dengan berusaha mengalihkannya. Aku tahu, hamil itu banyak perjuangannya. Apalagi dalam situasi seperti yang dialami Bu Erin- sapaanku- dalam keadaan mengajar dengan kondisi tubuh kurang sehat.

Omong-omong tentang Bu Erin dan mual. Aku merasakan keanehan yang sama dengan Bu Erin. Mual itu menderakh belakangan ini. Tubuh lemas dan sedikit kurang nafsu makan.

Ah! Nggak lah... Nggak mungkin!

“Bang- Abang!”

Buru-buru melangkah keluar kamar. Kucari Abang disekitar rumah. Dan nihil. Abang tidak ada di dalam. Ternyata Abang belum masuk lagi sejak setengah jam lalu.

Bergerak menuju keluar rumah, kulihat Abang sedang bercengkrama dengan Mas nasi goreng langganan kami di depan pagar rumah.

Mencoba menarik napas perlahan setelah setengah berlari mencari Abang, aku berusaha tenang. Dengan nada bicara sedikit naik namun tenang, aku berusaha memanggil Abang.

“Abang!” Panggilku dari teras depan. Abang yang duduk di kursi plastik, melirikku. Menyinggingkan senyum, kemudian mengangguk. Mengiyakan panggilanku sambil menenteng bungkus nasi goreng di tangan kanannya. Ternyata sudah dari tadi jadi, toh! Dasar Abang, malah asik ngerumpi!

“Makasih ya, Mas!” Abang bergerak kearahku setelah berpamitan dengan Mas Nasi goreng, “Bang, pakai ngobrol segala, sih?”

“Loh? Kenapa memangnya, Bit? Ini juga sekalian aja.”

“Ya ‘kan jadi lama, tahu! Bita ‘kan nungguin Abang!” Kataku merajuk. Melipat tangan di depan dada. Abang tertawa lalu menurunkan tanganku. Menggenggam tangan kiriku, “Jangan marah dong, Bit. Begitu aja kok baper banget, sih? Makan dulu, ya.”

Kami masuk ke pantry. Abang dengan segera mengambil piring sambil membuka bungkus nasi goreng.

Aku mengamati Abang dari kursi bar tempatku saat ini. Mendadak aku lupa niat mencari Abang tadi.

Ah, aku harus tanya Abang sekarang!
“Bang?” Panggilku ketika Abang tengah sibuk menuang air kedalam gelas. Alis Abang naik mempertanyakanku, “Abang ingat nggak Bita bulan kemarin datang tamunya tanggal berapa?”

“Berapa ya? Abang nggak hitungin Bit. Kayaknya sih pertengahan bulan. Sekitar tanggal 20an. Kenapa? Telat?” Tanya Abang. Sejenak Abang tampak terdiam. Tapi kemudian dia yang menunduk, mengangkat kepala sambil mengarahkan pandangan lurus kearahku, “Betulan telat, Bit?” Tanya Abang sambil mengigit bibirnya. Aku menggeleng tak yakin mencoba menghitungnya. Kalau memang betul perkiraanku dan Abang, aku memang terakhir dapat di pertengahan bulan. Dan saat ini sudah mau akhir bulan lagi. Bahkan hari minggu sudah akan ganti bulan lagi. Artinya hampir sebulan aku telat.

Aduh? Jangan-jangan...

Saatnya Jatuh Cinta! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang