Kenyataan Yang Harus Dihadapi Hari Ini [21]

638 100 3
                                    

“ ... Terima kasih Kak Bita, jangan lupa untuk selalu mengucap syukur atas hari ini. Kita tutup dulu ya sesi curhatnya, cie lah ... Oke, see you next week.”

Aku berjalan keluar dari ruangan sharing-konsultasi di salah satu rumah sakit oleh seorang psikolog yang Mimma pilih. Selama hampir dua minggu, aku sudah bolak-balik sebanyak tiga kali. Sedikit banyak kehadiran psikolog cukup membantuku. Sambil melangkah, tanpa sadar mataku menangkap seorang anak kecil yang menangis di ujung sudut lorong. Jelas sekali bahwa dia tengah menangis dalam diam. Ku dekati dia perlahan.

Eh ... Eh, kok menangis? Mama mana, sayang?” Tanyaku dengan lembut. Anak itu hanya menunduk sambil mengusap matanya.

“Sudah dulu di usap nya, ya. Nanti perih matanya. Tante antar ke Mama, ya?” Tawarku. Dia masih asyik bergeming sambil meneliti mataku sekilas.

“Adik tertinggal sama Mama, ya? Atau adik lari keluar, jadi Mama nggak lihat?”

“Mama sakit.” Cicitnya.

Aku mengernyit bingung lalu mendekatkan diri lebih dekat padanya.
“Mama kenapa?”

“Mama sakit.” Ulangnya.

Aku mengikuti geraknya menunjuk ruangan di depan lorong. Perlahan aku mengintip sekilas ke arah sana. Pemandangan seorang perempuan dengan box bayi di sampingnya membuatku tersenyum kecil.

Aku berjalan kembali kearah anak itu.

“Mama nggak sakit, Dik. Tapi Mama baru saja melahirkan. Nama kamu siapa?”

“Deeya.” Jawabnya singkat.

“Deeya, ya? Mama punya adik untuk Deeya, Mama baru saja melahirkan adik. Deeya mau kan punya adik?”

Anak itu mengangguk.

“Mau ...”

“Nah, Deeya jangan sedih ya, Mama nggak sakit kok⸻”

“Yaya! Ya ampun, kenapa disini, nak?” Seorang perempuan baya yang ku tebak adalah nenek dari anak ini, menyapanya dengan khawatir.

“Ini neneknya Deeya, kah? Maaf, saya lihat Deeya disini sendirian. Khawatir ada yang niat jahat, jadi saya tanya. Deeya menujuk ruangan di depan,” Kataku menerangkan.

“Iya, Mbak. Terima kasih ya, Mbak. Ini Yaya tadi ikut saya ke kantin rumah sakit, tapi dia kabur. Mbaknya ada keperluan lain kah? Maaf jadi mereporkan.” Terang si Nenek tak enak.

Aku menggeleng.

“Oh, nggak kok Bu. Saya sehabis ada keperluan saja, sudah mau pulang.”

“Oh begitu, baik, kalau begitu saya permisi ya. Terima kasih banyak.”

Nenek dan anak kecil itu bergerak meninggalkanku. Anak kecil yang ku tahu bernama Deeya itu menengok ke arahku sambil tersenyum, walau bulir air mata turun membasahi kedua pipinya.

Melihat Deeya, aku jadi mengingat si Kakak. Mungkin jika si Kakak lahir, dia akan seperti anak itu. Lucu, menggemaskan, dan mungkin akan mengkhawatirkanku jika aku melahirkan lagi.

Lucu, karena kupikir sebagai seorang anak kecil, Deeya mengerti soal rasa sakit. Dia pikir rumah sakit adalah tempat hanya untuk orang yang sakit, bukan termasuk pada orang yang melahirkan⸻ya, memang sakit, tapi sakit yang datang tak serta merta mengambil alih perasaan bahagia ketika dapat melahirkan seorang manusia ke dunia ini.

Saatnya Jatuh Cinta! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang