Gue menutup gerbang dengan pelan. Selepas sholat maghrib, gue memasuki rumah dengan pelan. Rumah gue sunyi banget.
Sejak setahun yang lalu, gue menempati tempat ini hanya berdua dengan Bita. Rumah ini adalah rumah lama orang tuanya Bita. Tapi sempat dirombak ulang dan dirubah gayanya lebih minimalis. Rumah ini bisa dibilang besar untuk kami berdua yang jarang dirumah. Tapi lumayanlah, gue nggak harus merasakan susah bahkan disaat gue belum kerja dan memutuskan menikah muda. Lucu memang, takdir orang itu beda-beda. Dan Alhamdulillah, gue selalu bersyukur.
Gue lirik kearah dapur, bersih dan nggak ada piring kotor. Ini kebiasaan gue. Setiap mulai masuk rumah, yang pertama gue datangi bukanlah kamar. Tapi dapur. Gue selalu lihat apakah ada piring kotor, atau ada makanan sisa diatas meja bar. Kalau memang nggak ada, gue akan terus berlanjut menuju kamar. Begitu terus hingga saat ini. Maklum, Bita kadang suka malas mencuci piring. Biarpun dia tanggung jawab soal cuci baju dan kerapihan rumah. Tapi soal yang satu itu, Bita antinya.
Masuk ke kamar, gue merasa gerah. Padahal sebelum maghriban gue udah mandi. Tapi rasanya panas lagi, gue melenggang masuk ke kamar dan menemukan Bita yang duduk diranjang sambil melipat pakaian- dalaman gue lebih tepatnya- dengn pandangan fokus.
Nggak gue hiraukan, gue masuk kedalam kamar mandi dengan handuk.Beberapa menit gue akhirnya selesai dengan ritual mandi gue.
Mandi itu bagaikan lo lahir kembali. Segar dan penat rasanya hilang begitu aja.
Ngomong-ngomong tentang hari ini, pertemuan gue dengan Bita di kantin tadi siang memang cukup membuat gue gatel. Nggak tahu kenapa, gue jadi makin mirip orang posesif terhadap Bita. Walaupun gue nggak pernah nunjukin dengan jelas atau ngelarang Bita dekat-dekat temannya. Gue Cuma bilang sama Bita, pergaulannya dibatasi. Jangan jadi fitnah dan jangan sampai Abang malu kalau kamu dikira macam-macam. Itu perkataan gue ketika pertama kali kami menyusun komitmen pertama di awal pernikahan.
Gue memang belum begitu tertarik dengan Bita di awal pernikahan. Secara dulu, gue pengin punya pasangan yang lebih tua. Keibuan dan benar-benar seperti perempuan keraton yang anggun. Mungkin itu hanya pemikiran kolot gue aja. Tapi Bita, dia nggak sama sekali begitu. Dia memang masih halus dan yang jelas perempuan tulen. Tapi dalam beberapa aspek, Bita memang kurang peka dengan anak-anak. Tidak terlalu bisa masak dan kadang-kadang malas. Wajar sih, mungkin dia lelah. Tapi diposisi itu biasanya gue akan menggantikan tugas Bita. Well, memang begitu ‘kan tugas suami?
Ilah... lagak lo, Ram!
Tapi benar, gue itu seakan pelengkap Bita. Ketika Bita dihadapkan pada anak-anak dan dia kurang bisa bersikap, gue paling jago. Ketika Bita bilang dia mager, gue yang bergerak. Ketika Bita masak tapi kurang enak, gue yang memperbaiki masakannya.
Nah, bener kan gue pelengkap?
Iya, kayak bumbu koya!
Hehe...
“Bang?”
“Heh?”
“Makan, Bang. Laper nggak?” Bita yang ketika gue keluar dari kamar mandi sedang duduk diranjang melipat pakaian, mengajukan pertanyaan klasik. Biasanya nih dia ada maunya, “Udah masak?”
Bita diam. Gue bergerak menggantung handuk lantas mencari kaos didalam lemari, “Abang yang masak, nih?” Tanya gue lagi.
Bita masih diam. Kemudian dia bergerak mendekati gue kearah lemari. Nyelip diantara lengan gue yang sedang meraih baju digantungan lemari. Meletakan celana dalam gue di laci, “Aku masak loh, Bang tadi.” Bita berbisik ditelinga gue. Aih, merinding!
“Kebawah ya, Bang. Aku siapin.”
Oke princess, Abang datang!
Siap-siap lidah gue menari dengan senang..
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Jatuh Cinta! [Completed]
ChickLit'Saatnya' The Series #1 [Chapter Hilang, Bab terakhir dan Extra Part dapat dibaca di KaryaKarsa @TaeIlss] Selamat Datang Para Hadirin! Selamat Datang di Pernikahan Bita dan Rama. Rama si mahasiswa Tata Boga yang manis dan penuh perhatian. Bita, m...