Halo? Ini Kami [1]

4.7K 475 18
                                    

“Mimma sudah bilang sama Ayah kamu, kalau kamu memang setuju. Kita akan lanjutkan.”

“Insyaallah Mi, aku coba.”

Satu tahun lalu, tepat ketika usiaku menginjak sembilan belas tahun, penawaran itu datang. Awalnya aku kaget, bukan tanpa alasan, tapi ini terlalu tiba-tiba. Mimma bilang alasannya bukan karena perjanjian atau hal apapun, Mimma hanya merasa cocok dengan Bang Ihra serta keluarganya dan ingin kami bersama. Sebelumnya kami memang sudah sering dikenalkan, dan aku maupun Bang Ihra juga sudah saling kenal. Apalagi ternyata kita satu kampus dan satu fakultas. Dunia itu sempit, kan?

Walaupun tidak intens, pertemuan kami berlangsung beberapa kali. Terbatas sih sebetulnya, hanya ketika ada acara keluarga saja. Kebetulan kedua orang tua ku yang berprofesi sebagai dokter dan orang tua Bang Ihra yang seorang angkatan di kemiliteran, sering kali harus berpergian jauh. Kami memang bukan anak kecil lagi yang tidak bisa ditinggal sedetik pun. Tapi dengan ide ini, setidaknya mereka bisa cukup tenang meninggalkan kami dengan pergaulan yang ada. Mimma maupun Ayah tahu bagaimana pergaulanku sendiri. Sudah sejak masuk sekolah menengah kejuruan aku mengambil jurusan teknik mesin, dimana diisi oleh banyak laki-laki. Mimma sempat khawatir, tapi aku membuktikan pada Mimma bahwa aku bukan perempuan yang bebas. Aku bisa mengatur pergaulanku. Hingga saat ini, statusku istri di usia muda. Mimma tidak khawatir jika pun aku harus menjadi Ibu di usia muda. Statusku menikah, dan itu tidak aneh lagi.

Dan walaupun begitu, hal yang belakangan ini tiba-tiba membuatku khawatir bukan lagi persoalan menikah. Kami seperti pasangan pada umumnya, aku dengan kewajibanku, dan sebaliknya Bang Ihra.

Mungkin ini hanya persoalan usia kami saja, lantaran masih muda sepertinya ini yang sering kali menggangguku. Padahal persoalan itu bukan hal besar, dan harusnya tanpa kata-kata itu, Bang Ihra dengan sikapnya sudah cukup membuatku – harusnya- bahagia saja. Tapi egoisnya, aku masih butuh itu! Sangat!

“Bengong aja, Bit. Ngapain?” Suara Bang Ihra menyapa pendengaranku. Tubuh itu menghempas disampingku dengan suara ‘srak’ yang khas dari ranjang yang bergerak, “Nggak, ini acara tv nggak ada yang seru.” Kataku menjawab.

Padahal ini semua karena memikirkan Abang!

“Besok selesai kuliah ada kegiatan?” Tanya Bang Ihra. Aku menggeleng, “Kenapa?”

“Nggak papa, soalnya aku kegiatan DPM¹ mau ada sidang pleno². BEM³ kamu belum ngasih info mau pleno.”

“Belum tahu, kan yang per departemen aja BEM prodi⁴ aku belum, Bang.”

Bang Ihra mengangguk, “Oke, aku balik agak telat ya? Nggak papa ‘kan?”

“Iya nggak papa,” Bang Ihra bersandar pada bahu ranjang, “Bit?”

“Hm?”

“Nggak minat naik ke fakultas?”

“Belum tahu, rencananya malah mau off.”

“Loh kok gitu?”

“Ya nggak papa, Bang. Capek aja. Mau fokus ngurus rumah aja sama kuliah,” Kataku sambil membuka toples kacang, “Lagipula kayaknya aku udah kebanyakan kegiatan. Ya satu per satu dikurangin.”

“Kamu ngerasa keganggu sama urusan rumah?” Tanya Bang Ihra. Aku meliriknya, “Nggak juga, Bang. Emang ngerasa udah agak capek aja.”

“Capek karena ngurusin rumah?”

Aku mendesah lelah. Lantas memutar tubuh menatap Bang Ihra, “Nggak Abang! Bukan karena itu.”

“Ya trus?”

Saatnya Jatuh Cinta! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang