Dokter

23 2 1
                                    

Aku bertemu dengannya ketika salah satu muridku terkena cidera akibat lomba sepak bola. Dia dokter spesialis anak, mungkin karena hal itu wajahnya ramah sekali, dekor ruangannya juga nyaman, aku sampai lupa jika sedang berada di rumah sakit. Untuk orang yang memiliki trauma dengan tempat bau alkohol dan obat, tugas mengantar dan menjaga keselamatan anak orang ini menjadi hal berat, sangat sangat berat. Tapi hari itu pengecualian.

Muridku kakinya patah, akibat tendangan lawan yang salah sasaran. Terlalu bersemangat dah ntu bocah! Nyampe gak sadar mana bola, mana kaki lawan, kesel!

"Bunda, makasih, ya! Rael gak kenapa-napa, kok! Keren malah dapet gips! Hehe." Dan cengiran khas Rael itu lenyap ketika kepalanya di geplak sang ayah.

"Maaf ngerepotin bunda. Rael, minta maaf juga!"

Dia menuruti ucapan ayahnya, "Kalo begitu kami pamit bunda."

Lalu mereka menghilang dibawa taksi, yang sebelumnya menawariku untuk ikut juga tapi aku tolak karena masih harus menyelesaikan administrasi.

"Jadi itu bukan anakmu?"

Tahu-tahu dokter ramah tadi yang menangani Rael berdiri di sampingku, masih dengan kostum yang menyenangkan. Jas baby blue, dengan beberapa alat yang aku tak tahu fungsinya apa bercokol di saku dada, menyembul dengan kepala beberapa karakter binatang lucu di bagian atasnya.

"Bukan dok, saya belum menikah," aku usahakan melempar senyum ramah juga, karena entah kenapa usia segini sensi kalo ditanya-tanya hal begitu.

"Oh, Alhamdulillah!" Wajahnya makin ramah dengan senyum berlesung pipi.

"Maksud dokter apa, ya?"

"Eh, jangan gitu dong ekspresi wajahnya, saya takut!"

Aku tinggalkan dokter aneh itu sendirian tanpa mengindahkan perkataannya. Maksudnya apa coba? Ngehina aku karena belum menikah? Apa-apaan dengan mengucap syukur?!

Bego sih, memang! Sebagai perempuan yang emosian, galak, dan doyan nyolot, aku jadi ditakuti anak cowok. Katanya salah ngomong satu huruf saja bisa kena semprot! Makanya dari fetus sampai segede ini asing sama cowok, bingung aja harus gimana. Tapi siapa sangka ternyata ucapan dia yang ngucap syukur itu belum selesai.

"Kalau begitu mau tidak jadi istri saya?"
Lanjutnya hari ini sampai padaku di depan orangtuaku, keluarga kita. Lucu ya hidup itu?

***

"Kenapa senyum-senyum?"

"Inget masa lalu aja, mas! Hehe."

Aku melihat lagi wajah ramah itu, yang sekarang sedang menciumi perut buncitku. Si dokter anak sebentar lagi punya anak, hihi.

-FIN-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang