Apa pernah kalian melihat laki-laki menangis? Maksudku, secara langsung. Bukan melihat dari drama atau film. Laki-laki juga manusia, jadi wajar menangis. Memang. Tapi dimataku air mata laki-laki itu jarang tampak. Entah mereka pandai menyembunyikan atau aku tidak peduli. Tapi hari ini pengecualian.
Air mata itu kembali mengalir, tangan kokoh berbalut kemeja biru cepat menghapus jejaknya. Sebuah usaha sia-sia karena detik berikutnya hal sama terulang. Kedai kopi di daerah Bandung pada malam hari selalu ramai dan hangat, namun meja kami terasa dingin. Sudah satu jam kami di sini, dan laki-laki di hadapanku masih menangis.
Orang yang ia cintai memilih untuk menikah dengan pria lain. Kami menghadiri pesta pernikahan mereka, aku ikut bahagia, tentu saja. Sebagai teman dan sebagai sahabat. Tapi orang ini berbeda, ia membalut luka dengan tawa. Buru-buru pamit pergi, dengan alasan takut mengantarku terlalu larut. Tapi bukan rumah yang ia tuju, melainkan tempat ini.
"Pingin di sini dulu sebentar ya, Fey. Maaf bawa kamu tanpa izin." Katanya saat melepas helmku dan menuntunku masuk.
Tadinya hatiku terlalu berbunga-bunga ketika ia perhatian seperti itu. Senyumnya, tutur katanya, membuat diri ini pasrah dibawa kemana pun. Namun getir nada itu membuatku sadar, ia sedang terluka dan aku merasa konyol merasa senang sesaat.
"Bayarin, loh! Tanggungjawab udah nyulik!"
"Iya, kalem. Pesen semua menu juga boleh."
Aku pikir tingkahnya itu adalah alasan untuk menghabiskan waktu bersama. Tapi ternyata salah. Salah besar.
"Mau sampe kapan nangis? Udah pingin pulang, nih!"
Ia terkekeh merespon ocehanku, "Sorry, sorry," katanya seraya membuang napas kasar, "Kita pulang sekarang." Senyum yang dipaksakan itu muncul.
Kenapa kamu masih tersenyum? Karena senyum itulah aku salah paham! Aku pikir kamu menyukaiku! Tapi ternyata tidak. Orang yang kamu suka adalah temanku, sialan! Kamu bodoh! Kamu terlalu fokus padanya sampai lupa padaku. Lihat aku! Kamu bisa pulang padaku tanpa luka! Aku bersedia membuatmu bahagia! Bego!
Setelah urusan transaksi selesai, kami melangkah keluar kedai, tangannya masih menggenggam tanganku. Ingin rasanya aku tepis, tapi hati terlalu lemah untuk bertindak demikian. Sampai di tempat parkir, ia masih memasangkan helm padaku. Kenapa kamu seperti itu? Sikap kecil itu berefek besar padaku. Pada perasaanku.
"Gio."
Ia urung memasang helm, "Kenapa Fey?"
Aku menghela napas, membuka kembali helm yang sudah terpasang di kepala, "Kamu orang baik. Kebahagiaan pasti akan datang padamu. Cuman lain kali kalo naksir cewek tuh bilang aja, jangan dipendem gitu. Ketikung kan jadinya! Nangis deh!"
Tawanya pecah. Setelah sekian lama awan mendung menutup wajahnya, matahari kini mulai terbit malu-malu, "Aku cemen banget, ya?" Katanya seraya merapikan anak rambutku yang dirusak helm. Jantung ini kembali menggila.
"Banget!" Aku tepis tangannya, menyembunyikan gugup yang datang entah darimana.
"Makasih sarannya, Fey. Kamu emang temen paling pengertian yang aku punya."
Ah, aku hanya teman yang pengertian, ya? Seharusnya aku tahu porsi cukup untuk peran itu, bukan berlebihan hingga sudi menjadi seseorang yang bisa diajak berbagi menghabiskan sisa usia.
Rasanya aku ingin mengutarakan perasaanku padanya tapi nyali ini terlalu pengecut. Ia takut ditinggalkan. Ia takut kehilangan orang ini. Laki-laki yang aku suka, berkedok teman belaka. Aku juga bodoh, ya!
Tuhan, sampai dia bisa menemukan kebahagiaannya, kuatkan aku agar terus disisinya. Ketika saat itu tiba, aku akan menjauh perlahan tanpa ia sadari perasaan ini sedikit pun. Namun jika ia memang untukku, dengan sangat senang hati aku menerimanya.
-Fin-
KAMU SEDANG MEMBACA
ROTI PANGGANG
Short Story#1 dalam 'tak berbalas' (26-09-2021) Berisi kumpulan cerita singkat. Tak sesingkat memanggang roti. Cover by: Sobat ambyar @favorflavour