Sebentar

15 2 2
                                    

Aku dan dia mendongak melihat papan menu, memilih makanan apa yang akan kita santap pagi ini.

"Kamu pesen apa?"

Aku tersentak. Oh, rupanya mata ini melihatnya bukan papan menu. Merasa tertangkap basah telah mencuri-curi pandang, gelagapan aku menyebut satu menu asal. Dia tersenyum.

Setelah makanan tersaji di meja, kami menyantap dalam diam. Tak ada yang membuka obrolan tapi jantungku berdentum tak karuan.

Kita benar-benar sarapan bersama?

"Aku gak habis, mau take away aja," katanya ramah. Tapi aku tertunduk malu karena piringku sudah kosong. Menyembunyikan itu aku berdiri, "Aku... Aku mau bilang ke pramusajinya," seraya pergi.

Ah, padahal dia juga bisa dengan hanya melambaikan tangan.

Makanannya sudah terbungkus rapi. Ritual ini akan berakhir. Entah mengapa aku merasa sedih.

"Aku mau ke toilet dulu, tunggu sebentar." Ucapnya padaku. Aku mengangguk. Seraya memegang paper bag makanan, aku melihat pantulan diri di cermin.

Apa aku cantik memakai kostum ini?

Sweater hijau mint dengan rok warna senada, dengan inner dan kerudung abu, sepatu kets putih yang sudah beralih warna menjadi cokelat susu. Aku terlihat aneh.

"Ayok!" Ajaknya dari belakang seraya tersenyum.

"Sebentar," jawabku. Menyerahkan paper bag, aku membetulkan kerudung. Ah, setidaknya aku ingin terlihat rapi dengan kostum asal-asalan ini.

"Udah cantik kok," katanya lagi dengan senyuman.

Tuhan, jika gula-gula Engkau kasih Rukh, ia akan menjelma sepertinya. Manis sekali, aku takut diabetes. Senyumnya mematikan.

"Ayok!" Ia menggenggam tanganku. Jantung ini rasanya hampir melompat dari tempatnya. Kami berpegangan!

Tapi di tengah perjalanan ia melepas tanganku. Aku terdiam dan melirik ke arahnya. Ia mematung lalu kuperhatikan arah pandangnya. Seorang kenalan kami melihat kejadian tadi.

"Dit, aku bisa jelasin. Plis, jangan kasih tau orang kantor." Ia gugup berbicara seperti itu. Hubungan kedekatan kami memang masih menjadi rahasia.

Adit tersenyum jahil, tapi masalah lain muncul, ada satu saksi lagi yang melihat kami.

"Oh, hai Dion! Mau berangkat kerja?"
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Aku sudah lihat banyak." Katanya.

Deru kendaraan umum dan suara-suara bising mengusik pendengaran. Membuat ucapan kami tak terdengar ketika memohon pada Dion dan Adit agar tutup mulut. Aku berteriak tapi mereka tetap akan sebar berita. Aku panik, meraih-raih udara, berlari sekuat tenaga untuk mencegah mereka sampai kantor. Berlari! Berlari cepatlah kaki! Dan ketika nyaris sampai menyusul mereka, kudapati kenyataan sudah jatuh di lantai kamar lalu jam alarm meraung-raung memenuhi ruangan.

Ya ampun, mimpi yang sibuk!
Tiba-tiba perasaan hampa menghinggapi.
Tuhan, bagaimana bisa aku melupakan dia jika Engkau tetap hadirkan dalam mimpi? Tidakkah menjadi nyata lebih baik? Aku ingin bersama dengan gebetanku itu walau hanya sebentar, tapi bukan di mimpi.

-FIN-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang