Senin

3 2 0
                                    

Keram perut semakin menjadi, aku duduk di toilet dengan tidak sabar menunggu Eca, sahabatku, membeli pembalut sedangkan jam pelajaran Bu Tyas, guru fisika super garang itu sebentar lagi datang.

"Ecaaaa...pembalutnya yang sayap, ada gak?"

Hening. Tidak ada jawaban sama sekali. Aku semakin cemas juga kesakitan.

"Caaaaa!!! Kok lu jadi bisu?? Ecaaaaaaaaaaa, udah sepuluh menit ini lama banget beli di kantin!!"

Lagi aku tak mendapat jawaban.

"Jangan bercanda Caaaa!! Lu beli di kantin mana, sih?!"

Tiga ketukan di pintu membuatku mengerutkan kening, "Caaa?"

Hening yang asing dari tadi membuat punduk merinding. Dan ketukan itu muncul lagi. Aku beranjak perlahan, membuka pintu toilet. Satu tangan terulur memberi tiga pembalut yang salah. Aku berusaha membuka pintu lebar-lebar tapi si empu tangan itu menahannya.

"Ca? Ini bukan yang gue mau. Lu kan--"

Pembalut yang salah itu ia jatuhkan, memotong ucapan ku, dan menutup pintu. Aku tidak punya pilihan lain selain menggunakannya.

"Awas ya, Ca! Gak lucu tahu kayak gini!" Ucapku dengan marah tertahan. Namun tak ada cacian balasan atau apapun khas Eca.

Aneh.

Beberapa menit setelah urusanku selesai, aku keluar dan tidak menemukan siapapun. Amarah dan kekesalan semakin memuncak. Aku langkahkan kaki keras-keras keluar toilet, dan menemukan Eca mematung di sebelah koridor.

"Loh!?"

"Kok lu masuk toilet cowok?"

Pertanyaan kami keluar nyaris bersamaan. Namun ucapan Eca membuatku bisu. Aku mendongak, melihat papan toilet yang menggantung. Benar, ini toilet cowok. Jadi yang tadi ngasih aku pembalut siapa?

"Ta? Tata? Ya ampun kenapa jadi pucet gini wajah Lo?" Eca sontak memegangi badanku yang entah mengapa tidak bisa berdiri.

"Ca, kalo bukan Lo yang ngasih gue pembalut, terus siapa dong?"

Kami saling pandang, otak masing-masing mencerna situasi. Eca duluan menemukan kalimatnya,

"Abis beli pembalut, gue nyari-nyari Lo di toilet cewek ini nggak ada anjir, terus ya udah gue nyari di semua toilet cewek, gila gak?! Pas gue balik lagi ke sini, Kak Iqram di depan situ berdiri dan wajahnya merah banget kayak tomat, ngelirik gue sekilas sambil ngangguk, terus pergi, deh."

Aku semakin lemas mendengar kronologis kejadian barusan.

"Gak mungkin Kak Iqram yang ngasih gue pembalut kan, Ca?"

Eca mengedikkan bahu dengan ragu. Keram perut menginterupsi dan badanku semakin lemas.

"Gue ke UKS aja deh, Ca. Gak akan fokus belajar juga, apalagi fisika."

Eca mengangguk, "Ya udah, gue anterin Lo ke UKS, ya Ta."

"Gak usah, gak usah. Bu Tyas galak banget, cepet Lo masuk kelas aja. Gue bisa sendiri."

"Beneran?"

Aku mengangguk meyakinkan, "Udah lu balik kelas deh, makasih banget yaa."

Eca beranjak dan kami berpisah di tangga. Tatapan Eca khawatir tapi aku berusaha tersenyum.

"I'm oke."

Dia mengangguk lalu berlalu menuju kelas. Tertatih aku menuruni tangga menuju lantai satu, belok kiri dan UKS nangkring di sana. Membuka ruangan perlahan aku masuk dengan begitu lemas.

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang