Last

19 3 0
                                    

"Semoga kamu bahagia, meski kita tak saling membahagiakan."

Satu kalimat yang sering bergema di dalam kepala ketika malam tiba dan sepi melanda. Bayangan orang itu akan muncul lalu tanpa sadar air mata mengalir deras. Kenangan berpisah dengannya adalah yang paling membekas dalam ingatan. Seperti kaset rusak yang memutar bagian paling pedih dari semua kisah pedih.

Saat itu cuaca cerah, sangat-sangat cerah sampai tak bisa memalingkan pandangan dari birunya langit. Tangan kami saling bertautan, jalan setapak menuju air terjun membuat genggaman semakin erat, untuk menjaga keseimbangan badan agar tidak terjatuh. Batu pijakan berlumut dan serangga-serangga berkeliaran di rumput memeriahkan suasana, mereka mungkin ikut merasakan kebahagiaan yang merebak dalam diriku.

Laki-laki yang tangan kirinya membawa peralatan piknik dan tangan kanannya menggenggam tanganku, yang punggungnya kokoh menghalau sinar matahari, yang wajah rupawannya menoleh ke belakang setiap menit memastikan aku baik-baik saja itu adalah potongan terakhir sebelum kenyataan dari hari cerah berwarna berubah gelap menikam.

Segala tawa yang keluar dari tempat indah itu tersedot ke dalam basemen apartemen milikku. Masih di dalam mobil yang tadi siang mengalunkan lagu bahagia, ia menatapku dalam dan memelukku erat. Terlalu erat hingga aku merasa bahwa pelukkan itu tidak membuat bahagia.

"It's the day. Our last day." Bisiknya lembut di telinga, namun menikam di hati. Satu tetes air mata meluncur, lalu detik berikutnya menjadi aliran sungai dengan isakan. Aku menangis, dan pelukannya semakin erat.

Ah, benar. Aku yang terlalu naif. Tidak mau menerima kenyataan bahwa kisah ini sudah berakhir. Seseorang yang akan menemani sisa usianya bukanlah aku. Tokoh yang muncul di tengah-tengah dongeng dengan bantuan orangtuanya, menendang diriku keluar tanpa belas kasih. Dan piknik inilah permintaan terakhirku sebelum ia pergi. Sebelum ia menjadi milik orang lain.

Jika aku tahu akhirnya akan sesakit ini, permintaan terakhir itu tak akan pernah aku ucapkan.

Lama kami melamun saling berpelukan dalam mobil. Berbagai angan berkecamuk. Apa yang akan terjadi jika kami kabur saja bersama? Atau biarkan aku mengandung benih keturunannya? Atau...

"Semoga kamu bahagia, meski kita tak saling membahagiakan." Katanya memutus lamunanku.

Kutatap lagi matanya, sebuah kesedihan, luka, kerapuhan, juga cinta kasih sayang bercampur aduk di sana.

"Aku pergi ya. Terima kasih untuk hari ini."

Aku tidak kuat berlama-lama dengannya, waktuku sudah habis. Takut ego menggerogoti akal sehat, hingga aku semakin sulit melepasnya.

Cepat aku membuka pintu mobil, berjalan tergesa menuju lift, masih menunduk menahan keinginan untuk berbalik, dan ternyata mata itu masih menatapku hingga kedua pintu besi merapat. Aku ambruk, dan tangis kembali membuncah.

Tuhan, aku sangat mencintai laki-laki itu. Mengapa tak Kau berikan saja padaku?

-Fin-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang