Dapur rumah sewaan mahasiswa yang pengabdian itu mulai ramai. Seorang perempuan mengiris bawang, seorang lagi memotong sosis dan baso. Dan yang berdiri di depan wajan menggoreng telur ceplok. Hari ini adalah jadwalku piket posko, tapi yang kulakukan sejak tadi hanya melihat mereka sibuk lalu-lalang di depan mata.
Sebetulnya aku tidak ahli memasak. Ibuku tak pernah menyuruhku memasak, dan Ayahku tidak mempermasalahkan itu. Aku dan Ayah sama-sama buta rasa, tidak tahu apakah masakan Ibu enak atau tidak, yang penting kita makan.
"Ibumu juga tak bisa masak. Tapi Ayah selalu rindu masakan Ibumu, aneh, kan?"
Begitu kata Ayah jika aku mengeluh tidak bisa memasak. Tapi menurutku tidak aneh. Itu karena Ibu membuatnya dengan cinta untuk Ayah, ya kan?"Memasak itu gampang, asal kerasa manis dan gurihnya saja. Nanti juga terbiasa." Kata ibu.
Tapi nanti itu kapan tepatnya, Bu? Hari ini, kah?
"Gea, bisa tolong gantikan aku menggoreng nasi? Aku mau mencuci sayuran."
Defya memanggil dan spontan jantungku berdegup kencang. Gugup sekaligus takut. Nasi goreng ini akan disantap semua orang, bagaimana jika tidak enak? Eh, tapi mungkin Defya sudah memberi bumbu?
"Sekalian tambahin bumbunya, ya!" Ucapnya kemudian menghilang membawa sekeranjang sayuran. Kerongkonganku kering seketika.
Setelah membubuhkan bumbu instan khusus nasi goreng -aku bersyukur atas penemuan ini- tanganku sekarang kesulitan mengaduk. Nasinya mengerak, tandanya aku harus membaliknya, bukan?
Aku mulai panik, tapi semua rekanku sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mau minta tolong sama siapa?
Lalu entah muncul darimana ia menghampiriku dan berkata dengan santai, "Bukan begitu cara membalik nasi," kemudian spatula sudah berpindah tangan.
Satu tangannya memegang wajan dengan serbet dan tangan yang lain membaliknya. Kenapa tidak terpikir olehku, ya?
Setelah dirasa rata, ia mencicipi nasi goreng yang aku bumbui, "Kurang gurih," katanya. Dengan lihai ia ambil garam dan menaburkan di atasnya. Aku mematung. Kemampuan memasaknya luar biasa.
"Bisa ambilkan bakul itu? Nasinya sudah matang."
Aku mengerjap, entah terpesona kelihaiannya memasak atau wajahnya yang seksi ketika di depan kompor?
Melangkah dengan kaku, aku mengambilkan bakul yang ia maksud. Senyumnya mengembang ketika aku sodorkan bakul kosong.
"Terima kasih," jawabannya.
Nasi goreng dialih tempatkan dari ketel ke bakul. Aromanya menggugah selera, dan perutku mulai meronta kelaparan.
"Langsung bawa ke ruang teve aja, ya." Katanya menyerahkan bakul nasi itu. Aku mengangguk, "Makasih, ya!"
Ia melempar senyum, "Anytime, Princess."Detik itu juga jantungku berhenti berdetak! Dia... Mencuri detakannya.
Panas dari bakul nasi menyengat tanganku, mengaktifkan tameng di otak. Ia memberi wejangan; Jangan berlebihan, kepribadian dia saja yang baik, dan melakukan hal itu karena membantu rekan setim. Jantung! Kembalilah bekerja! Jangan lemah!
-FIN-
KAMU SEDANG MEMBACA
ROTI PANGGANG
Short Story#1 dalam 'tak berbalas' (26-09-2021) Berisi kumpulan cerita singkat. Tak sesingkat memanggang roti. Cover by: Sobat ambyar @favorflavour