Bertemu

10 3 2
                                    

"Selamat ya, Ge! Sukses terus untuk karyanya!" Ia tersenyum, manis sekali. Membuat napasku tercekat.

"Makasih banget udah mau nyempetin dateng. Aku tahu jadwal kamu padat, tapi ini..." Lanjutnya seraya menyodorkan novel terbaruku, membuat mata ini semakin jelas melihat cincin yang melingkar di jari manisnya, aku meringis.

"Istriku ngefans banget sama kamu. Dia sedang hamil dan ngidam, jadi mi--"

"Bukannya kesepakatan sama manager aku itu istri kamu yang bakal dateng?" Potongku cepat.

Sepersekian detik aku menangkap kekagetan diwajahnya. Maaf... tapi bertemu lagi denganmu adalah hal yang tak ingin terjadi dua kali.

Cukup sekali saja, ketika dulu kamu begitu perhatian denganku sampai ingat makanan favorit aku tanpa cela; batagor kuah tanpa seledri, saos sedikit, pedas manis, banyak tahu dan jeruk nipis.

Cukup sekali saja, ketika dulu kamu berani menerobos hujan demi mengantar pisang keju untuk menemaniku mengerjakan skripsi.

Cukup sekali saja, ketika dulu saat kelulusanku kamu datang dan menyatakan perasaanmu. Mungkin aku terlalu cepat mengiyakan sampai pada saat dimana kamu pergi dan memilih perempuan lain demi ibumu.

Hal terakhir yang kamu berikan padaku sebagai salam perpisahan adalah lagu 'Dan...-Sheila on 7' yang kamu cover. Sungguh, sejak saat itu aku benci mendengar lagunya, karena yang terbayang adalah kamu.

Kamu saat ada untukku.

Mengapa memilih yang lain jika bersamaku kamu bahagia? Sampai saat ini aku tak mengerti permainan semesta, tentang perasaan manusia dan dramanya.

"Istriku sedang dirawat, kondisinya lemah, ia tak sanggup pergi. Jadilah aku yang menggantikan, managermu sudah memberi tahumu, kan? Dan kamu setuju."

Seketika aku memijit pelipis, pening menyerang tiba-tiba, siapa yang tahu suami perempuan itu adalah dia? Kadang Tuhan sesunyi itu berbagi clue masa depan.

"Baik. Kamu ingin aku menulis apa?" Jawabku seraya membuka bolpoin. Semoga suaraku tak terdengar sumbang.

"Apa saja untuk istriku, terserah kamu."

Setelah aku menulis beberapa kata, dengan cepat kusodorkan kembali buku itu, memasukan bolpoin dan bergegas pergi.

Sumpah! Aku tak sanggup berlama-lama.

"Tunggu!" Ia menghadang jalanku, "Aku ingin bicara. Sebentar saja."

Ingin aku berkata 'tidak' dengan lantang, tapi kaki ini menurut saja dan kembali duduk.

Sial!

"Aku ingin meminta maaf dengan benar. Sungguh, aku sayang padamu, sampai saat ini juga. Tapi tak bisa aku upayakan kita bersatu, karena ibu..."

"Aku sudah tahu itu. Boleh aku pergi?"

"Maafkan aku..." ia menunduk semakin dalam, suaranya nyaris lenyap. Aku semakin tidak mengerti.

"Baiklah. Permisi!" Tanpa menoleh lagi kutinggalkan ia di sudut meja kafe sendirian. Kata maaf kadang tak bisa menyembuhkan luka, seperti paku yang dicabut dari kayu, pakunya hilang namun bekasnya masih menganga.

Hiduplah dalam rasa bersalah!

\\

Melihat ia pergi tanpa menoleh sedikitpun, detik itu juga aku sadar kesalahan terhadapnya tak akan pernah termaafkan.

Kubuka tulisan dia untuk istriku,
'Lekas sehat dan bahagia selalu. Gea :)'
Membuat embun dimataku berubah menjadi hujan. Sungguh Tuhan... aku sangat mencintai perempuan itu.


-FIN-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang