Reuni

16 3 0
                                    

Ia duduk di dekat jendela besar menghadap ke perkebunan teh bersama kedua sahabatnya saat SD dulu. Aku ada diseberangnya, hingga kubisa melihat ia dengan jelas.

Ini reuni SD, banyak sekali yang berubah. Ada yang sudah menikah dan membawa pasukan juniornya, ada yang jadi arsitek, guru, novelis, komikus, bahkan politikus.

Aku abadikan moment ini dengan mata lensaku. Membawa kamera bukan hal yang janggal untuk seorang fotografer, bukan? Kupotret setiap sudut cafe ini tanpa cela. Dan saat mata lensaku mengarah padanya, jantung sialan ini berdegup tak semestinya. Ah! Apa aku masih menyukainya?

Gea, dia cinta pertamaku. Gadis cantik yang cerdas namun pendiam itu mencuri hatiku ketika ia tersenyum untuk pertama kali. Bukan tersenyum padaku, hanya saja aku ditakdirkan melihat senyumnya. Sejak saat itu hingga kini, hatiku terus bergetar jika melihatnya. Apalagi sekarang ia tumbuh semakin cantik, mengenakan gamis abu corak merah marun dan kerudung yang senada dengan bajunya, membuat diriku semakin terpaku.

Aku potret dirinya sebanyak yang kubisa. Ah! Aku mulai gila. Jika terus seperti ini, apa aku akan mewujudkan keinginanku atau menahannya hingga kuterluka?

Dari dulu ia memang susah didekati. Aku penasaran, apakah di hatinya sudah ada yang mengisi ruangan itu?

***

Alasan terbesar ikut reuni kali ini adalah karena dua sahabat kecilku. Menghadiri acara ini sendirian terlalu malas, terlebih tak ada hal menyenangkan waktu SD dulu. Pembullyan, pengucilan, atau kekerasan fisik yang berujung tak ingin pergi ke sekolah. Dan dua orang inilah yang membela dan mau menjalin pertemanan denganku, sampai saat ini.

Memperhatikan wajah-wajah yang dulu berbuat jahat namun saat ini bersikap ramah tamah dibuat-buat, aku merasa jijik. Luka fisik memang telah hilang, tapi luka batin masih menganga.

Aku mengobrol sekenanya dengan mereka. Ingin cepat pulang. Membuang napas kasar, aku mengedarkan pandangan mencari suasana baru.

Di sebrang meja, seorang laki-laki menurunkan kamera ketika aku melihatnya. Ia jadi salah tingkah. Beranjak dari mejanya, ia datang menghampiri kami.

"Gue foto kalian boleh, ya? Buat kenang-kenangan." Ia tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang rapi.

Arkan, anak kecil pembawa kayu bakar setiap pulang sekolah itu kini menjadi fotografer profesional. Penampilannya tidak dekil lagi, ia bertransformasi menjadi laki-laki tinggi bertubuh tegap, dengan alis tebal dan mata hazel berbingkai kacamata. Wajahnya bersih, dan juga wangi. Tidak dipenuhi keringat atau bau matahari seperti dulu.

"Boleh banget, Arkan. Cepet-cepet kalian ke sini." Hayfa bersemangat memberikan instruksi supaya kami mengapitnya ke tengah-tengah.

Arkan tergelak, dengan tangkas ia memotret kami, "Makasih, guys! Gue tinggal dulu. Mau motret yang lain," pamitnya kemudian.

"Gila! Dia jadi ganteng gitu!" Seloroh Hayfa.

"Setuju! Padahal dulu dia dekil banget, terus galak sampe gak ada yang mau nemenin." Axel menimpali.

Galak?

Aku memandang punggungnya sampai ditelan kerumunan. Seingatku, dia adalah laki-laki yang baik. Permen kaki dua biji ia sodorkan ketika aku dikucilkan. Lalu tubuhnya merebah di kursi, tanpa ada obrolan yang berarti. Dulu dia selalu seperti itu padaku. Selain Hayfa dan Axel, mungkin Arkan adalah penyelamatku juga. Penyelamat sepi.

Wanita yang bersanding dengannya kelak, pasti menjadi wanita paling bahagia di dunia.

-FIN-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang