Tanya

7 2 1
                                    

Acaranya sudah selesai beberapa jam yang lalu, namun tamu tak kunjung pulang, mungkin ingin lebih mengakrabkan diri. Terdengar sesekali gelak tawa dari dalam rumah, banyak anak kecil berlarian membawa setoples kue, dan aku hanya tersenyum menikmati itu semua.

Prosesi lamaran berjalan lancar, cincin dijari manisku simbolnya, bahwa semua itu bukan mimpi. Para ayah sudah sepakat menentukan tanggal pernikahan, dan para ibu sibuk mendiskusikan katering dan dekorasi, semuanya berkumpul, semuanya sibuk, tapi syukurlah ini bukan lagi mengenang kematian. Dua keluarga akan bersatu! Aku akan menikah! Tak bisa dipercaya!

"Cokelat panasnya, tuan putri."

Dua cangkir minuman berdempet di atas meja, mengepulkan uap aroma berbeda, miliknya kopi.

"Terimakasih, mbah!"

"Ish, setua itukah hamba di matamu putri?"

Aku tergelak, entah karena sedang disituasi bahagia, atau bersamanya segala situasi akan bahagia? Tapi yang jelas aku tadi bertukar cincin dengannya.

"Mbah... kamu itu tua! Dulu kamu udah bisa tambah kurang di SD, nah ibuku baru mules di ruang bersalin."

Giliran dia yang tertawa, membuat bibirku ikut melengkung ke atas. Laki-laki ini awet muda sebenarnya, beda usia kami 7 tahun namun dia terlihat sepantar denganku, menyebalkan!

"Lalu kenapa tuan putri mau menikah dengan mbah-mbah seperti saya?"

Kenapa, ya? Aku juga tak tahu. Alasan cinta dan sayang sudah pasti dan kurasa tak perlu diungkap lagi. Menikah bukan cuman butuh dua modal itu, bibit-bebet-bobotnya juga dia sudah memenuhi klasifikasi, itu juga tak perlu diungkap. Lalu apa, ya?

"Misal ada pangeran yang lebih hebat dari mbah, apa tuan putri masih mau memilih mbah?"

Aku kembali tertawa, semoga anggunku tak luntur malam ini karena sering lepas kontrol untuk tertawa. Lucu sekali, dia ikut memanggil dirinya 'mbah'. Tapi karena pertanyaan itu aku menemukan sebuah jawaban.

"Aku bakal tetep pilih mbah, walau yang datang itu pangeran berheli pribadi," dia tertawa mendengar jawabanku, "Karena menghabiskan sisa usia bareng mbah bikin hati aku nggak ketakutan, juga pikiranku tidak mendebatnya. Intinya cuman mbah yang bisa bikin diri aku utuh."

Mendengar itu dia hanya diam dan menatapku. Oh, ya ampun! Aku malu! Wajahku panas sekali dan kenapa dia membatu? Padahal jantungku seperti mau meledak. Bagaimana ini?

"Tuan putri... sepertinya mbah ingin menikahimu malam ini juga."

Aih, jadi semakin salah tingkah, "Berhenti manggil mbah!" Kataku sambil menyeruput cokelat panas buatannya, menutupi rona-rona merah di wajah. Ya ampun, malam ini suhu meningkat drastis. Aku gerah!

-FIN-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang