Hannan

7 3 2
                                    

Guru baru di madrasah diniyyah semester ini terbilang unik. Kata kepala madrasah, beliau anak salah satu donatur yayasan, tapi saat melamar alasan ia mengajar adalah mengisi waktu luang yang kebetulan melihat guru madrasah kurang orang dan kerepotan mengatur anak.

Pikirku, kenapa anak orang kaya seperti dia mau mengisi waktu luang di madrasah diniyyah yang memiliki murid unik-unik kelakuannya? Aku sendiri pusing tapi dia malah menyerahkan diri.

Beliau guru tahfidz dan kaligrafi, membina ekskul futsal dan tak jarang memimpin anak TPA peregangan jika jam olahraga. Aku wali kelas 1, ruang kelas dan ruang guru jaraknya memang tak jauh, hanya terhalang kolam ikan yang suka dimanfaatkan dia melakukan kegiatan. Membuat kaligrafi, muroja'ah hapalan, bahkan tak jarang ia murotal. Jadi efeknya mata aku lihat dia setiap hari ditambah suaranya merdu pula, membuat aku susah konsentrasi mengajar.

Dia pernah ditegur kepala madrasah karena bawa anak sekelas belajar di pinggir kolam tapi ia beralasan bahwa lingkungan pun mendukung anak untuk menghafal, "Biar sekalian tafakur Bu," begitu katanya.

Anak-anak menyukainya, selain cerdas, baik, dia juga jenaka, selalu ada tiga-empat anak yang mengikuti langkahnya. Mau di kantin, lapang, atau sekedar nongkrong di selasar mesjid saja ada anak, dan mereka pasti sedang tertawa, sosok ayah ideal sekali.

Kehadirannya bagai oase di gurun pasir, dari guru senior sampai aku yang baru menetas tak henti-henti membicarakan dia.

Bagaimana tidak, setengah masalah hidupnya sudah selesai, punya usaha kue sendiri, sekolah sarjana 3 kali dan magister 2 kali di universitas bergengsi, lalu memanfaatkan waktu luang mengajar di sini katanya. Aneh banget, kan? Maksudnya dengan gelar mentereng dan duit mengalir ngapain dia di sini?

Visualnya bukan main. Sorot mata tajam dipayungi alis tebal dan hidung mancung yang sanggup menahan kacamata bingkai hitamnya tak melorot. Bibirnya merah dan setiap senyum lesung pipi hadir pula menyapa. Memanjakan mata bukan? Dadah bapak guru sepuh berperut buncit dan kepala pelontos. Tapi justru yang paling aneh adalah dia belum menikah!

"Bunda... hari ini kaligrafi anak-anak kelas 1 pindah jadwal, pak Hannan tak bisa hadir."
Bunda Rahma, guru piket yang bertugas hari ini memberitahuku. Sedikit kecewa karena aku tak bisa lihat wajahnya, astagfirullah. Tapi kenapa? Tumben.

"Jadi untuk hari ini anak-anak disuruh bikin kaligrafi sesuai latihan kemarin saja katanya." Lanjut Bunda Rahma.

"Baik, terima kasih bunda."
Setelah melempar senyum, aku bergegas ke kelas, menyampaikan tugas darinya.

Tak ada yang aneh dari tugas yang diberikannya, hanya membuat ornamen pinggir dan tengah. Tapi saat mengumpulkan, anak-anak menyusun kertas sesuai absen. Ke-tumben-an ke dua untuk hari ini. Kelas usai, dan kertas tugas itu kubawa ke ruang guru, untuk disimpan di meja kerjanya. Tapi si empu meja sudah duduk di sana membaca al-ma'tsurat. Kan, aneh?!

"Assalamu'alaikum, pak. Katanya tak bisa masuk tadi," kataku berbasa-basi, padahal ingin adakan wawancara, "Ini tugas anak-anak kelas 1 hari ini." Kusimpan tumpukan kertas itu di sampingnya.

"Wa'alaikum salam. Tadi ada klien minta ganti jadwal rapat jadinya saya telat masuk. Itu kertas tugasnya bunda saja yang kasih nilai. Bawa ke rumah, besok saya minta hasilnya."

Loh? Kok gitu? Harusnya saya yang bicara seperti itu ke bapak! Kan saya wali kelasnya!

Kata-kata itu tertahan di tenggorokan, jadinya menggema di hati. Apa karena ia berkata seperti itu dengan sorot mata teduh dan senyum syahdu? Entahlah, berdekatan dengannya tidak sehat untuk debar jantungku.

Di rumah, saat aku menilai tugas anak-anak darinya, sesuatu ganjil yang merunut absen, gambar ornamen itu menjelma seperti puzzle yang bisa disusun! Disusun sesuai absen! Dan hasilnya membuat aku berlari menemui ibu.

"Lihat, bu!" Setengah terkejut aku berkata seperti itu pada ibu. Tapi ibu berekspresi biasa... saja?

Ornamen itu membentuk namaku dan namanya dengan tanggal besok tercantum di sana.

"Apa maksudnya coba, bu?"

Ibu tersenyum lalu memelukku erat, "Dari nak Hannan, ya? Besok dia mau melamarmu. Kamu siap-siap, ya! Ayah sama ibu sudah setuju, tinggal jawabanmu."

Rasanya seperti meriam jatuh pas di telingaku, mendenging. Apa aku tak salah dengar?

"Kapan pak Hannan... maksudnya... ke ibu sama ayah... bilang... ih! Gak ngerti!"

"Hannan itu dari tahun kemaren mau sama kamu. Tapi katanya bingung deketin kamu gimana. Sudah satu madrasah saja kamu cueknya kebangetan," Ibu menjawil pipiku, "Terima, ya! Ibu mau punya menantu kayak nak Hannan."

Ya Rahiim... ini terlalu menyenangkan, jatung rasanya meledak! Mana mungkin aku menolak, bukan?

-FIN-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang