Bermain

11 1 0
                                    

Sebuah kebiasaan dimalam minggu; menyapa para perempuan. Yah, walau tidak semua.

"Kau mau kan menjadi penulis lagu untukku?" Selembut mungkin aku berkata padanya, dengan tatapan yang sering membuat perempuan terpesona dan musik mengalun indah. Sebagai penyanyi dengan wajah--yang orang lain bilang-- tampan, aku tahu keadaan ini bisa dengan mudah menggaet perempuan manapun. Walau tidak semuanya.

"Aku hanya menulis puisi, bukan lirik lagu." Ucapnya lagi dengan nada selembut yang aku lakukan. Sudah kubilang, tidak semua perempuan bisa aku taklukkan. Dia contohnya.

Aku mengenalnya ketika tersesat di toko buku. Konyol memang, niatnya ingin lari dari masalah perempuan namun ternyata aku malah terjebak dalam pesona perempuan. Dia sedang tersenyum memberikan tanda tangan pada penggemar bukunya. Karena penasaran aku beli bukunya dan langsung berbaur dengan keramaian, saat giliranku mendapatkan tanda tangannya dia masih saja tersenyum. Cantik. Penuh percaya diri aku pun tersenyum dan menatapnya lekat, namun ia tak terpesona seperti perempuan kebanyakan saat melihat wajahku, dia hanya mengangguk lalu bertanya, "Untuk siapa?" Bahkan aku baru sadar pertanyaan itu adalah kalimat yang akan ia tulis dalam bukunya--buku yang aku beli.
"Untukmu bidadari manisku. Selamat membaca! ^^"
Begitu tulisannya. Sial!!

Jangan tanya bagaimana aku bisa dekat dengannya, relasiku lebih luas dari yang kalian kira. Tapi dia memang unik, rasanya aku tak pernah setertarik ini pada perempuan.

"Ayolah... aku suka puisimu. Bahkan aku senang menjadikannya sebuah lagu. Rasanya seperti keluar dari hati."
Ia tertawa mendengar ucapanku. Gombal receh memang.

"Sejak kapan kamu menggunakan hati?" Jawabnya disela gelak tawa, "Dengar... puisiku lahir dari air mata, sayatan luka, kehampaan, dan cerita kelam. Initinya ia datang dari hati yang remuk."

Selama beberapa menit aku terdiam dan dia masih tertawa. Tawa yang tak aku mengerti. Perempuan ini... aku kira tak memiliki luka. Dengan senyum manis diwajahnya, mungkin saja dia sama sepertiku, bermain dengan perasaan yang diperbudak pesona fisik semata. Sikap angkuhnya sempat membuat prasangka jika ia sudah memiliki dambaan hati. Namun detik ini aku mengaku bahwa sosok indah dihadapanku tak bisa aku mengerti. Bahkan misteri yang ia simpan sampai ke hati--bagian rapuh dalam tubuh yang menjadikan manusia menjadi manusia. Aku tak bisa menyentuh hatinya. Seberapa besar luka yang kau simpan? Bolehkah jika aku mengetahuinya?

"Dari hatimu yang remuk?"

"Bukan. Hatiku masih utuh, tenang saja."

"Lalu hati siapa?"

"Hati kaumku. Yang diperbudak cinta, tanpa dibarengi logika dan keimanan. Aku menciptakan buku untuk itu. Menyelamatkan kaumku dari yang memperbudaknya."

Senyumnya mengembang semanis madu namun menusuk dadaku bagai belati. Apa ini saatnya aku berhenti bermain hati?

-FIN-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang