Riak

6 2 0
                                    

Senin pagi. Matahari mulai terbit malu-malu menggelitik sudut bibirku, membuatnya tertarik ke atas sejak membuka mata. Semangat menjalani kegiatan sekolah tak padam dari semalam. Intinya aku sangat, sangat, sangat menantika hari ini.

Alasannya apa?

Betul!

Karena Rivan.

Hari ini yang bertugas menjaga gerbang sekolah sebelum upacara bendera adalah Rivan. Ketua OSIS yang baru naik jabatan itu, selalu menyempatkan diri memeriksa kelengkapan seragam siswa dan... Sedikit memberi 'hadiah' bagi yang datang terlambat di hari Senin.

Yap, hanya hari Senin.

Maka dari itu, aku sengaja tidak bawa topi, tidak memakai dasi, ikat pinggang--benda ini memang jadi pajangan doang, kan? Rok atau celana murid sudah di-setting sesuai pinggang. Memakai sepatu kets putih dan sedikit terlambat. Lima menit cukuplah.

Aku langkahkan kaki keluar rumah diiringi omelan bunda, "Kiana sarapan dulu!"

"Udah telat bund! Nanti Kiana makan doubledeh! Love you bundaaaa!"

Jawabku tergesa tapi tak lupa memberi love sight dengan mengangkat tangan ke kepala untuk wanita favoritku.

Jarak tiga meter sebelum gerbang sekolah, Rivan sudah menjulang berbalut jas OSIS kebanggaan dan bet yang melilit lengan kanannya. Ada riak halus dalam tubuhku jika melihat Rivan segagah itu. Rasanya jas OSIS memang tercipta untuknya, juga jabatannya, juga karismanya, semoga aku juga memang untuknya.

Eh?

Sorry.

Back to story'.

Jarak semakin terpangkas, dan jantungku berpacu lebih kencang. Bukan hanya karena berlari tapi aku akan berhadapan dengan Rivan. Aku sudah sejauh ini untuk menarik perhatiannya.

"Berdiri di sini."

Kalimat pertama yang Rivan katakan setelah ia tahu aku pakai sepatu putih, lalu memisahkan aku dari murid lain yang sedang mendapat 'hadiah'.

"Kamu yakin gak salah alamat masuk sekolah?"

Katanya lagi dengan nada sinis. Tapi dalam hati aku tersenyum manis.

"Nggak kok, tuh logo sekolah kita sama." Jawabku seraya menunjuk logo sekolah miliknya.

Dia menepis tanganku kasar. Normalnya aku ketakutan, atau setelah diberi nada ketus tadi aku ciut, tapi anehnya riak dalam tubuhku semakin menjadi.

"Aturan sekolah di sini tidak memperbolehkan memakai sepatu selain warna hitam."

Aku mengikuti arah pandangnya, "Sepatu hitam aku belum kering, kemarin Minggu hujan deres, yang ada cuman sepatu ini. Better kan daripada pake sendal? Atau aku nyeker nih?"

Bohong.

Sebenarnya aku memang sengaja memakai sepatu putih. Sepatu hitamku teronggok rapi di rak.

Rivan mendengus, melihat arlojinya, lalu kembali melihatku. Jika tatapan bisa membunuh, aku sudah mati dari tadi. Aku baru sadar Rivan segarang ini.

"Topi nggak bawa, dasi nggak ada, ikat pinggang nggak ada, sampe kaos kaki juga nggak pake. Niat sekolah nggak sih?"

"Niat lah, makanya aku dateng juga. Cuman kesiangan aja hari ini dan udah berusaha semampu aku. Nggak dihargai nih usaha aku?"

"Siapa nama kamu?"

Riak itu kini menjadi ombak dan kurasa menjadi Tsunami ketika Rivan memegang bahuku untuk melihat name tag seragam.

"Kiana Soraya." Ucapannya di depan wajahku. Refleks aku menahan napas. Bisa ya kena hukuman semendebarkan ini? Nggak sia-sia memang usahaku.

"Ambil dua hadiah."

"Hah?!"

Sini aku kasih tahu apa 'hadiah' yang Rivan maksud. Itu adalah hukuman bending bagi siswa kesiangan berkedok korek api. Jadi bungkus korek api ditaruh di meja piket, dan orang yang kena hukuman harus memasukkan isi korek api ke bungkusnya dari aspal.

Paham kan kenapa aku kaget?

Dua bungkus korek api! Gila!

Lutut apa kabar?

Tapi nggak apa-apa, malah bagus. Aku sengaja tidak sarapan untuk ini. Gak nyangka aja sampe dua bungkus. Si pengidap mag melewatkan sarapan, plus lari-lari dari rumah ke sekolah, sudah aku pastikan pingsan akan datang.

Dan benar. Belum setengah isi korek api penuh, mataku sudah berkunang-kunang, jangan tanya lututku, dia sudah lelah. Entah hitungan batang korek keberapa aku kehilangan kesadaran.

Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Gambar pertama yang tertangkap retina setelah siuman adalah langit-langit putih. Aku tak akan kaget, pemandangan ini sudah sering aku lihat, ini ruang UKS.

Hatiku sedikit kecewa karena ada satu prediksi yang meleset. Rivan tidak di sampingku, menunggui aku sadar. Tapi memang siapa aku? Dia tidak mungkin bolos jam sekolah demi aku.

Perlahan aku bangun, kepalaku masih berat, dan perutku keroncongan. Biasanya ada anak PMR yang memberiku obat mag juga roti atau biskuit.

Tapi ini kok sepi?

Mencari sepatu dan niat makan, suara pintu terbuka membuat gerakanku terhenti lalu suara langkah kaki mendekat dan gorden kasurku tersibak, memunculkan sosok Rivan menenteng satu keresek makanan.

"Kamu udah sadar? Mau kemana?"

Nada suaranya tidak sinis atau tinggi seperti tadi, dia... khawatir. Entah mengapa aku senang. Ternyata prediksiku tidak ada yang meleset.

Desas-desus sekolah bergaung, katanya Rivan sendiri yang membawaku ke UKS, dan mengurusku sampai siuman. Ada sedikit kehebohan karena ketos menggendong perempuan menuju UKS. Aku sampai teriak tertahan mendengar ini.

Dan dia bolos jam pelajaran demi aku! Wow!

"Ini aku beli roti, biskuit, susu, permen cokelat, sa-"

"Rivan."

Dia mendongak, "Kenapa? Ada yang sakit?"

Dititik ini sebenarnya aku ingin memeluknya, lalu berkata lantang, "Aku udah mendingan pas lihat kamu." Tapi yang aku ucapkan malah, "Pingin nasi kuning bi Ratih."

"Eh?"

"Hah?"

Seketika aku ingin pingsan lagi. Efek lapar dan grogi, begonya nambah dua kali.

"Kalo gitu kamu tiduran lagi aja, aku beli sekarang."

Rivan balik kanan lalu hilang dibalik pintu. Bi Ratih yang aku maksud adalah penjaga kantin sekolah. Di sana ada nasi kuning yang enak banget pokoknya. Langganan aku kalo gak sempet sarapan di rumah.

Dan dari kejadian itu hubunganku dengan Rivan berjalan sangat baik. Teramat baik, sampai akhirnya aku bisa melihat dia setiap hari. Dari membuka mata sampai kembali membuka mata, akan ada Rivan di sana.

Siapa yang sangka Rivan menjadi suamiku? Rencana Senin pagi itu di-acc semesta dan efeknya se-amazing ini.

Satu tahun pernikahan, Tuhan memberi seorang putri kecil. Kami memanggilnya "Rivana". Setiap aku melihat wajah mungilnya, ada riak baru dalam diriku.

Aku menjadi ibu anak ini, dan Rivan ayahnya.

"Nak, jika suatu saat kamu menyukai seseorang, kejar dia dengan caramu. Asal tidak menyalahi norma agama dan negara. Seperti yang ibu lakukan untuk ayahmu."

"Bisik-bisik apa sih kalian?" Rivan muncul dari dapur, menenteng nampan berisi susu dan makanan. Aku tersenyum menyambutnya.

Rivan mengelus rambutku, menyimpan nampan di meja, mengambil Ana dari pangkuan ku.

"Sarapan dulu sayang." Katanya seraya mencium keningku lembut.

Begitulah cara Rivan menghadirkan riak-riak kecil itu. Ia selalu ada sampai saat ini. Sampai bertambah riak baru dalam diriku.

I love you two (Rivan-Rivana).


-FIN-

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang