Antar

6 2 0
                                    

Perempuan muda keluar dari ruang dokter dengan wajah was-was, ia cemas akan hasil uji lab yang baru saja dilakukan.

"Minggu depan hasilnya keluar, kita lanjutkan pemeriksaan setelahnya." Ucap dokter menutup pertemuan hari ini.

Ia membuang napas kasar, jalannya gontai menuju kantin rumah sakit.

"Aku butuh gula-gula." Batinnya merajuk.

Sampai di mulut kantin, bergegas ia mengambil minuman dingin.

"Sebelum pulang, beli es krim, ah!" Pikirnya menginterupsi, namun tak bisa melupakan hasil lab yang menghantui.

Setelah membayar di kasir, ia duduk di bangku kosong taman rumah sakit. Taman kecil yang cukup rindang dengan air mancur buatan di tengahnya. Setidaknya mendengar gemericik air membuat dirinya sedikit tenang.

Menghela napas dan memejamkan mata sejenak, ia berharap semua masalah hari ini terbawa angin dan hilang. Diganti dengan kebahagiaan yang bertubi-tubi.

Saat berharap demikian, sengatan dingin menjalar dari pipi kanannya, ia kaget dan membuka mata mencari sumber keusilan siang bolong begini.

Memfokuskan mata ke arah tubuh yang membelakangi matahari, ia melihat seseorang tersenyum padanya dengan menyodorkan satu es krim cokelat kesukaannya.

"Ilyas?"

Ilyas mengangguk, dan duduk di sampingnya, "Kamu kenapa di sini, Ca?"

Arunika, nama perempuan itu. Cuman Ilyas yang selalu menyebutnya Caca. Karena Arunika suka makanan manis, dan permen cokelat kacang dengan merk itu adalah yang sering dibawa Arunika kemana-mana. Biar kayak Sherina ucapnya jumawa di hadapan Ilyas suatu hari.

"Kamu yang ngapain di sini? Kamu sakit? Atau siapa yang sakit?"

Ilyas menggeleng, "Aku baru nengok temen. Kamu gak sakit kan, Ca?"

Ada sedikit jeda untuk menjawab pertanyaan Ilyas, "Nggak. Nggak sakit. Sama aku juga baru nengok temen." Bohong Arunika.

"Siapa?" Kembali Ilyas bertanya. Namun otak Arunika terlalu buntu untuk menyebut satu nama teman dalam hidupnya.

Kalo aku nyebut asal nama temen, takut nyumpahin jatohnya.

"Kamu gak pinter bohon, Ca." Ilyas menatap Arunika lembut.

Hal yang paling dibenci Arunika di dunia ini adalah perasaannya terhadap Ilyas jika laki-laki itu menatap dengan cara yang ia sukai.

Benar. Ilyas adalah laki-laki yang selama ini telah mencuri hatinya. Tapi untuk apa Arunika memperjelas perasaannya, toh dia hanya perempuan cacat penyakitan. Dan pikiran itu sering membuat hatinya patah.

"Boleh aku bantu kamu, Ca?" Kembali Ilyas bertanya dengan bersungguh-sungguh.

Arunika menatap Ilyas dalam, ia mencari kebohongan atau keusilan yang selalu Ilyas lakukan setelahnya. Tapi ia tidak menemukan itu. Di hadapannya hanya Ilyas yang serius ingin membantu.

Apa aku boleh minta bantuannya? Apa nanti tidak apa-apa? Bagaimana jika aku egois dan inginkan Ilyas lebih dari sekedar penolong? Apakah...

"Ca?" Ilyas menangkup kedua tangannya dan menautkan jari-jarinya di tangan Arunika, "Boleh, ya?"

Seperti tersihir, Arunika hanya mengangguk. Ilyas tersenyum lalu membelai rambut Arunika lembut. Tanpa sadar satu tetes air jatuh dari matanya, dan entah kenapa tidak bisa ditahan. Arunika menangis di pelukan Ilyas.

"Aku takut, Yas. Ada masalah dalam rahimku. Dokter akan melanjutkan diagnosa jika hasil lab sudah keluar. Gimana kalo misalnya hal buruk nanti yang aku terima? Lalu bagaimana dengan hidupku? Perempuan tanpa rahim bukankah itu buruk?" Arunika meracau.

Ilyas hanya menepuk punggung Arunika tanpa berkata apapun.

"Aku cacat Ilyas. Laki-laki mana yang mau denganku kelak? Apa yang diharapkan dariku setelah pernikahan? Ak--"

"Laki-laki yang menikahimu akan mencintai kamu seutuhnya. Dan belum tentu hasil labnya buruk. Aku temani kamu ya Ca. Kita dengerin hasil lab nanti bareng-bareng. Oke?"

Arunika mengurai jaraknya dan menatap Ilyas lekat, "Kenapa kamu mau repot-repot begitu buat aku?"

Ilyas kembali memeluknya. Kali ini lebih erat dibanding tadi, "Karena aku mencintaimu. Aku gak tahu ini momen yang pas atau nggak, tapi denger kamu cerita begitu aku makin ingin selalu di sisi kamu. Aku ingin kamu tahu kalau kamu punya aku."

Arunika membeku dalam dekapan Ilyas. Hanya detak jantung Ilyas yang bertalu bising di pendengaran Arunika.

"Ilyas, aku udah bilang kalo aku cacat dan-"

"Kamu gak cacat. Kamu sempurna untuk aku. Aku ingin kamu dengan seluruh pesona dan gemerlap mu. Aku ingin kamu dengan segala buruk dan gelap nya. Aku hanya ingin kamu, Arunika."

Arunika kembali mematung, "Ilyas, sepertinya ini memang bukan waktu yang tepat menyatakan cinta."

Sontak Ilyas tertawa dan tawa itu menular pada Arunika.

"Serius, Ca? Respon kamu itu? Aku udah deg-degan banget loh ngomong puitis begitu tadi."

Arunika menghapus sisa air mata, sesekali tawa renyah masih lolos dari mulut mendengar Ilyas bicara seolah tidak terima atas jawabannya.

"Habisnya sih nembak pas pikiran aku kusut begini."

Tak terpikirkan Arunika, Ilyas kembali menangkup tangannya dan bertekuk lutut di hadapannya, "Kita lewati hal-hal yang bikin pikiran kamu kusut itu bareng-bareng, ya?"

Apakah do'a orang sakit semujarab itu? Baru saja aku berharap kebahagiaan datang bertubi-tubi, eh, ini cepet banget dijawabnya.

"Oke. Tapi nanti pas aku udah sehat, kamu nembak aku lagi ya. Jangan di taman rumah sakit begini. Bikin suasana yang romantis dan ulangi pelan-pelan, 'Arunika kesayanganku, mau kah kamu jadi pacarku?' gitu ya."

Ilyas tak berhenti tertawa. Arunika selalu membuatnya seperti itu. Tidak bisa ditahan.

Dan tanpa Arunika tahu, Ilyas tidak pernah menepati reka adegan yang disarankan. Ilyas tidak pernah meminta Arunika menjadi pacarnya.

Namun Ilyas meminta Caca untuk menjadi istri di depan Ayah Ibu nya, dengan suasana khidmat kedua keluarga. Do'a Caca hari itu memang didengar semesta dan seluruh isinya. Ia akan mendapat kebahagiaan bertubi-tubi.


-FIN-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ROTI PANGGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang