Kakak tertua Aira benar-benar membuktikan ucapannya. Biasanya setiap pagi, Gebra selalu menyapanya di meja makan, kali ini lelaki itu diam saja. Tanpa senyuman dan canda tawa sebelum lelaki itu berangkat ke kantor. Di meja makan terasa canggung, semuanya diam dan fokus pada makanan masing-masing. Aira menghentikan aktivitas makannya, lalu bangkit seraya mengambil tas yang tersangkut di kursi.
“Ma, Pa, Kak Geb, Aira berangkat dulu ya?” pamit Aira lantas pergi meninggalkan meja makan. Sementara Vana dan Edgarka menatap punggung putrinya yang semakin menjauh, lalu hilang di balik dinding.
Vana menghela nafasnya panjang, tatapannya beralih ke piring putrinya. Makanannya masih banyak, Aira hanya memakan beberapa sendok makanannya. Kadang, dia tidak tega mendiami putrinya seperti ini. Namun, dia harus melakukan ini agar putrinya jera. Kesalahan yang Aira perbuat itu tidak sekali dua kali tapi berkali-kali.
Seketika dia jadi teringat masa-masa dulu, saat dia sering sekali berbuat masalah dan berakhir di hukum oleh kakaknya. Masa-masa kelam itu kembali muncul di benaknya. Dulu, dia sering berbuat ulah karena ada alasan tertentu, tapi putrinya? Alasan apa? Aira tidak mempunyai kesempatan untuk beralasan. Tentu saja, Aira mendapatkan kasih sayang orang tua dan kedua kakaknya, semua kebutuhannya dipenuhi, mempunyai teman, dan satu lagi, tidak ada yang main fisik di sini, berbeda dengannya dulu. Lalu apa lagi yang kurang?
“Gebra, semalam kamu hukum adik kamu?” tanya Vana menatap ke arah anak pertamanya, duduk berhadapan dengannya. Gebra diam, sedetik kemudian lelaki itu mengangguk. “Kamu gak sampe lukain dia ‘kan?” Vana bertanya lagi menahan nafasnya. Dia takut, kejadian dulu yang pernah dia alami terjadi lagi.
Lelaki itu menggeleng, membuat Vana mengembuskan nafasnya lega. “Gebra gak berani, Ma. Ai itu adikku, mana mungkin aku nyakitin dia. Aku sita semua barangnya, motor, laptop, kartu debit kredit sama handphone. Semalam juga aku kelepasan udah bentak dia, mungkin dia takut.”
“Emang perbuatan Aira udah keterlaluan. Gila, dia fitnah aku masukin testpack ke dalam tasnya. Buat apa? Sejail-jailnya aku ke Aira, ya gak segitunya,” timpal Gabriel kesal, melahap dua buah naget sekaligus ke dalam mulutnya.
“Buat apa ya kira-kira, Aira beli testpack, gak mungkin ‘kan buat dia sendiri?” gumam Vana, bertanya pada dirinya sendiri. Dia menatap Edgarka, bertanya-tanya lewat tatapan. Seperti sudah mengerti, Edgarka menggelengkan kepalanya pelan.
“Aku berangkat dulu ya, Ma, Pa,” pamit Gebra, mencium pipi ibunya lalu pergi.
“Aku juga! Tunggu Kak Geb!” Gabriel mengambil tasnya kemudian berlari mengejar kakak tertuanya. “Kak! Tunggu ya elah!” Entah sepanjang apa kaki kakaknya, sampai dia sendiri tidak bisa mengejarnya. Gebra menghentikan langkahnya, berbalik menatap Gabriel bingung.
“Mau bareng?” tanya Gebra yang langsung dibalas gelengan oleh Gabriel.
“Kata Kakak kartu kredit sama debit Aira Kakak sita ‘kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Friend?
Teen Fiction"Lo seriusan mau temenan sama gue? Gue miskin loh, gak jijik emang?" tanya Anggita yang langsung dibalas gelengan oleh Aira. "Mau. Gue anggap semua orang itu sama. Miskin kaya, pinter dan gak pinter, gue gak peduli. Di mata gue, semua orang itu sam...