Rencana Anggita seakan menjadi kesialan tersendiri baginya. Ya, sial, dirinya sedang sial. Farel semakin membencinya dan Novalen juga ikut membencinya. Masa bodo dengan Aira, dia tidak memedulikan gadis itu. Entah Gebra menyiksa atau membentak-bentak Aira hingga sekarang Aira lebih mirip orang gila. Belajar adalah jalan utamanya. Dia berusaha semampunya agar naik dan merebut posisi Novalen dan Aira. Merebut posisi Aira kemungkinan akan terbilang mudah. Nyatanya Aira sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan prestasi.
“Kak,” panggil seseorang dengan suara lemah. Aktivitas belajar Anggita seketika terhenti. Langsung bangkit dari duduknya, bergegas menuju kamar adiknya yaitu Melodi.
Semenjak kebusukannya ketahuan Farel dan Novalen, dia tidak bisa meminta bantuan kepada mereka lagi. Terkhusus kepada Aira karena dia sengaja membongkar semuanya secara langsung di depan wajah Aira. Uang sudah habis terpakai untuk biaya rumah sakit Melodi. Uang saku dipotong, pas-pasan untuk ongkos sekolah dan makan. Sebagian besar pendapatan berasal dari Aira, sekarang? Jangan harap dia meminta bantuan lagi pada Aira.
“Mel, ya ampun.” Anggita menempelkan telapak tangannya ke kening Melodi. Tubuh Melodi menggigil hebat, bibirnya pecah-pecah. Suhu tubuhnya tinggi. “Ki-kita ke rumah sakit sekarang, iya, kita ke rumah sakit.”
Ke rumah sakit? Bagaimana bisa? Saat ini dia tidak memiliki uang sama sekali. Pinjam ke siapa?
“Ayo.” Meski begitu, Anggita tetap menggendong Melodi membawanya menuju ke rumah sakit.
***
Berkali-kali Anggita menelepon Farel tapi tak kunjung diangkat lalu beberapa menit kemudian Farel memblokirnya. Beralih ke Novalen, cowok itu sama saja. Malah lebih dulu nomornya terblokir. Sekarang ini dia sedang kebingungan setengah mati. Air mata merembes keluar. Bulak-balik ke sana dan ke mari, kakinya tak bisa berhenti diam di satu tempat.
Siapa?
Pintu ruangan terbuka menampilkan seorang pria berpakaian dokter. Sesegera mungkin Aira menghadap ke dokter itu.
“Dok, gimana keadaan adik saya? Enggak papa kan?”
“Adik Anda terkena tifus. Dia harus dirawat beberapa hari di rumah sakit ini agar mendapatkan perawatan lebih intensif. Silakan Mbak melakukan pembayaran di bagian administrasi, kalau begitu saya pamit,” kata dokter itu melenggang pergi meninggalkan Anggita.
Anggita melangkah gontai menuju staff administrasi. Pikirannya melayang-layang, menerka jumlah biaya perawatan Melodi. Di dompet tersisa uang 100 ribu, untuk membeli obat saja tak cukup.
“Permisi, Mbak. Saya mau bertanya, jumlah total pengobatan adik saya berapa ya?” tanya Anggita menahan nafas, menunggu wanita bersanggul tipis menjawab pertanyaannya.
“Nama adiknya siapa ya?” Si staff administrasi bertanya balik.
“Melodi, Levanya Melodi,” sebut Anggita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Friend?
Novela Juvenil"Lo seriusan mau temenan sama gue? Gue miskin loh, gak jijik emang?" tanya Anggita yang langsung dibalas gelengan oleh Aira. "Mau. Gue anggap semua orang itu sama. Miskin kaya, pinter dan gak pinter, gue gak peduli. Di mata gue, semua orang itu sam...