Weh, apakabar?
Turut berduka untuk kita semuaAnd ... happy reading ....
Vana memeluk Edgarka erat. Menangis sesenggukan di pelukan suaminya. Gebra duduk di kursi tepat di samping ruangan Anggita. Setelah Gebra, Vana dan Edgarka mati-matian meyakinkan Anggita untuk tenang. Akhirnya Anggita tertidur juga. Setidaknya gadis itu tidak terlalu banyak menangis yang bisa menyebabkan penurunan imunitas tubuh Anggita.
Tangan Gebra menggenggam kursi kuat-kuat. Melampiaskan amarahnya ke kursi di samping. Merasa sangat bodoh mempercayai Aira begitu saja dengan berhenti mengawasi Aira. Dia tidak menyangka Aira bisa berbuat nekat seperti ini. Malu, ya, rasanya dia ingin menutup wajahnya sendiri.
“Ini salah Gebra, Ma. Seharusnya Gebra ngawasin Aira,” sesal Gebra tanpa menatap ibu atau ayahnya. Hari ini juga dia akan jujur mengenai kejadian beberapa hari lalu. Biarlah, Vana dan Edgarka tahu.
“Kamu enggak salah, Gebra. Papa yang salah, seharusnya Papa didik Aira jadi anak yang baik. Selama ini, Papa udah salah didik Aira. Salah,” balas Edgarka. Tatapan matanya begitu kosong. Masih tak mempercayai kejadian hari ini.
“Sebenarnya Ma, Pah. Selagi kalian ada di rumah kakek, diam-diam Aira pergi ke club malam. Memaksa Anggita buat ikut tapi Anggita enggak mau, Anggita kirim pesan ke Gebra dan ... di sana Gebra marah besar. Gebra hukum Aira Ma, Pa, maafin Gebra ...,” ungkap Gebra. Vana melepaskan pelukannya, memandang putranya datar.
“Kamu pukul Aira?”
“Iya, Ma.”
Sekarang Vana mengerti kenapa Aira begitu takut berhadapan dengan Gebra sekarang. Marah? Tidak, Vana tidak bisa marah di kondisi sekarang. Kesalahan Aira begitu banyak hingga dia pun bingung harus membela putrinya bagaimana lagi.
“Aira tahu Anggita yang ngasih tahu Gebra. Mungkin ini alasan Aira, kenapa Aira dorong Anggita sampai buta,” sambung Gebra.
Vana menghapus air matanya kasar. “Putri kita enggak bakal ngelakuin ini kan, Ed?” tanya Vana pada suaminya, “aku percaya Aira enggak akan ngelakuin itu. Dia, dia darah daging aku, Ed. Kamu percaya kan sama Aira?” Diguncang tangan Edgarka sampai beberapa kali, meminta pembelaan dari suaminya.
“Vana, semua bukti terarah ke putri kita. Enggak ada celah buat aku bela Aira, Van. Di sini Aira salah, dan penjelasan Gebra masuk akal. Aira dendam, Van. Aira sengaja dorong Anggita,” sangkal Edgarka seraya mengambil handphone di sakunya.
Edgarka mencari-cari nomor seseorang. Lebih tepatnya nomor orang kepercayaannya. Beberapa detik berlalu, barulah orang yang dihubungi menjawab.
“Halo, Pak Edgarka?”
“Halo Fathur. Tolong kamu cari putri saya ya? Kamu tanya ke semua temennya. Cari ke tempat-tempat yang biasa putri saya kunjungi.”
“Baik, Pak. Saya langsung cari keberadaan putri Bapak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Friend?
Fiksi Remaja"Lo seriusan mau temenan sama gue? Gue miskin loh, gak jijik emang?" tanya Anggita yang langsung dibalas gelengan oleh Aira. "Mau. Gue anggap semua orang itu sama. Miskin kaya, pinter dan gak pinter, gue gak peduli. Di mata gue, semua orang itu sam...