7. Direbut🌱

211 37 13
                                    

Kelas Aira nyaris sepi, hanya ada beberapa murid yang tersisa termasuk Aira sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kelas Aira nyaris sepi, hanya ada beberapa murid yang tersisa termasuk Aira sendiri. Jam istirahat masih setengah jam lagi, dan selama setengah jam dari waktu istirahat, Aira masih diam. Wajahnya bersembunyi di balik lipatan tangan. Dengan mata terpejam, dia menghirup dalam-dalam aroma wangi dari body lotion yang tadi pagi dia pakai. Wangi lavender, aroma yang sangat menenangkan. Tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan saat ini, selain merenung.

Kasus kemarin lumayan besar, jika sampai terdengar ke telinga keluarga besarnya, bisa gawat. Terlebih jika kakeknya tahu, jiwa dan raganya pasti tidak tenang. Kakeknya sudah tua, jangan sampai beliau celaka mendengar kasus ini. Ada satu sepupunya sekolah di sini, satu jurusan tapi beda kelas. Kelasnya dengan kelas Shana—sepupunya—bersebelahan. Untungnya, Shana bisa diajak kerja sama. Shana tidak suka mengadu, tidak seperti Gabriel. Menyebalkan.

“Aira, enggak makan?” tanya seseorang membuat Aira menengadah, menoleh ke sumber suara.

Novalen tersenyum lalu duduk di sampingnya, lebih tepatnya di kursi Anggita. Di tangannya ada kotak makan yang sudah terbuka, menampakkan beberapa potong sandwhich. Biasa saja memang, tapi entah mengapa sandwich yang dibawa oleh Novalen tampak mengugah selera.

“Apaan itu, Len?” tanya Aira, berbasa-basi. Padahal dia sudah tahu, apa yang dibawa oleh Novalen.

“Sandwich, nih. Lo ‘kan belum makan, gue denger lo lagi dihukum sama keluarga lo. Kalau lo butuh sesuatu, ngomong aja, pasti gue bantu. Sebisa gue,” ujar Novalen. Netra hitamnya menatap Aira penuh kehangatan dan ketulusan.

“Makasih banyak, Len. Nanti kalau gue butuh sesuatu, gue bilang.”

“Nah gitu. Sekarang makan nih, nanti lo sakit lagi. Kelas sepi tau kalau lo gak ada.” Novalen tertawa kecil, mengambil sepotong sandwhich lalu menyodorkannya ke Aira. “Enak nih, buatan gue sendiri. Lo pasti gak bisa buat.”

Aira mencebik, sedetik kemudian ikut tertawa. “Cih, buat sandwich aja bangga. Gue juga bisa, denger ya gue udah bisa buat itu pas umur gue masih 6 tahun,” ejeknya. Saat dia ingin mengambil sandwich yang Novalen berikan, tiba-tiba direbut oleh seseorang. Aira menoleh, menatap kesal ke orang yang sudah seenaknya mengambil sandwich miliknya.

Anggita, gadis itu mengambil sandwich itu tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Aira menghela nafasnya panjang. Ingin dia marah, tapi di sampingnya masih ada Novalen.

“Enak Len, sandwich-nya,” puji Anggita, melahap habis sandwich-nya.

“Main rebut-rebut aja, lo ‘kan bisa ngambil di kotak. Ini buat Aira, dia belum makan,” omel Novalen.

“Loh, memangnya yang lo mau kasih ke Ai itu spesial?” Anggita bertanya, melirik Aira sekilas lalu kembali menatap Novalen.

Novalen berdecak. “Nih, Ai. Masih banyak kok,” tawar Novalen, menyodorkan kotak makan ke hadapan Aira.

Hello, Friend?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang