Halo, berhubung penulis kangen sama Aira dan keluarganya. Jadi aku tulis, selamat membaca
***
Hilang sudah salah satu cahaya keluarganya. Disaat Ken tahu adiknya meninggal rasanya dia berubah menjadi gila detik itu juga. Emosi membara di dalam jiwanya. Hasrat membunuh orang yang terlibat semakin menggelora menyuruhnya untuk dituntaskan.
Satu orang yang menjadi sasaran utama kemarahannya, Gebra. Ya, Gebra, kakak kandung Aira. Gadis baik dan polos kesayangan semua orang. Jika pada akhirnya seperti itu, dari awal dia akan menyuruh Aira untuk tinggal bersamanya saja. Tidak hanya dirinya, Gerald pun emosi. Setelah tahu fakta Kematian Aira, siapa yang akan tinggal diam?
Bugh!
Satu tinjuan berhasil dilayangkan oleh Ken. Tinjuan tersebut tepat mengenai perut Gebra. Pria itu terpental membentur dinding setelah mendapat hantaman kuat di perutnya. Sementara Gebra pasrah.
"Aku tidak bisa lagi menahannya Gebra. Aku ingin membunuhmu detik ini juga!" teriak Ken menendang tubuh Gebra lagi dan lagi tanpa ampun. "Kamu lebih memilih percaya orang lain ketimbang adikmu sendiri?! Adikmu Gebra, kesayanganku!"
Masa-masa sulit itu Aira lalui sendirian. Tanpa sandaran dari siapa pun.
Sendirian.
'Aira trauma Kak. Aira trauma sama Kak Gebra.'
"Sialan!"
Ada Gerald di tempat yang sama. Gerald tidak menengahi mereka. Duduk diam seperti sedang menonton pertunjukan yang menguras emosi. Membiarkan Ken memukuli Gebra. Emosinya seperti tersalurkan lewat Ken. Pria yang tenang dan tak pernah menunjukkan emosinya di depan orang terutama keluarganya, sekarang malah terang-terangan menunjukkan betapa marahnya pria itu sekarang.
"Goblok, otakmu ... otakmu di simpan di mana huh?" Ken menepuk keras kepala Gebra. "Ternyata di keluarga ini ada orang setolol kamu ya, Gebra."
Dan Ken tidak pernah berkata kasar sampai seperti ini.
"Adikmu butuh dukungan dan kamu malah mempercayai orang lain? Kamu yang setiap hari bertemu dengannya, kamu yang lihat bagaimana Aira tumbuh dari dalam kandungan sampai gadis remaja." Ken mendorong tubuh Gebra kasar. "Semua orang tolol, semua orang goblok. Aku yang tolol, kenapa aku tidak memaksa Aira untuk tinggal bersama keluargaku saja."
"Adikku Aira, adikku Aira ...." Ken menjambak rambutnya sendiri seperti orang yang hilang akal. Menendang dinding untuk melampiaskan sisa-sisa kemarahan.
"Ken," tegur Gerald saat sudah melampaui batas.
"Gerald, adikku mati karena ulah pria itu. Kalau saja keluarganya percaya pada Aira ... kalau saja dia tidak menyakiti fisik dan batin Aira, mungkin dia masih ada di sini. Mungkin dia ikut bersamaku untuk jalan-jalan bersama. Mungkin dia masih tertawa lepas bersamaku. Kenapaaaaaa?!" teriak Ken kencang. Dadanya naik turun. Hancur, tak ada lagi yang tersisa.
"Ken tenanglah. Ikhlaskan kepergian Aira, biarkan dia tenang."
"Sialan," maki Ken lantas pergi keluar dari ruangan.
"Pulanglah ke rumah Gebra. Aku tidak ingin kalut seperti Ken. Mati-matian aku menjaga kewarasanku sekarang. Mungkin aku akan lebih parah dari Ken kalau kamu tidak segera enyah dari hadapanku," titah Gerald tenang.
"Kalau kamu mau memukulku aku tidak mengapa, Kak," ucap Gebra berusaha keras bangkit, "bahkan kalau kamu mau membunuhku pun aku siap mati di tanganmu. Lampiaskan semuanya padaku Kak. Aku salah, aku telah membunuh adikku."
Gerald tertawa terbahak-bahak. Melempar cangkir kopi ke dinding tepat di samping Gebra.
"Aku ingin membunuhmu. Betapa inginnya aku menggali kuburanmu dengan tanganku sendiri. Tapi, kamu putra tanteku. Untuk beberapa hari ke depan tolong jangan muncul di hadapanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Friend?
Teen Fiction"Lo seriusan mau temenan sama gue? Gue miskin loh, gak jijik emang?" tanya Anggita yang langsung dibalas gelengan oleh Aira. "Mau. Gue anggap semua orang itu sama. Miskin kaya, pinter dan gak pinter, gue gak peduli. Di mata gue, semua orang itu sam...