43. Mata Aira🌱

565 80 55
                                    

Happy Reading....
Don't forget, vote and comment

(Thanks, sudah diberitahu ya. Rasanya tak mungkin keluarga Aira tidak tahu sampai berhari-hari tentang kematian putrinya. Sudah direvisi, sekali lagi makasih sayang banyak-banyak)

Gabriel melangkah gontai. Harapannya sudah pupus. Bagian dari dirinya seakan hilang. Berharap semua ini mimpi dan dia akan segera bangun dari mimpi buruk ini. Tangannya terulur membuka pintu ruangan. Di dalam ruangan ada Gebra, kedua orang tuanya, Anggita dan dokter. Mendengar suara pintu terbuka refleks Gebra dan kedua orang tuanya menoleh.

Operasi Anggita berjalan dengan lancar. Keluarganya harap-harap cemas menunggu dokter bersuara. Meski operasi dinyatakan lancar, tetapi mereka belum bisa memastikan apakah Anggita bisa melihat lagi atau tidak. Tubuh Gabriel ambruk ke lantai. Kedua tangan Gabriel mengepal lalu kepala tangan itu dia hantam kuat-kuat ke lantai sampai tangannya terluka. Gebra kaget, lelaki dewasa itu menghentikan aktivitas.

“Gabriel! Gabriel kamu kenapa?” tanya Gebra khawatir. Membantu adiknya bangkit. Berkali-kali Gabriel terjatuh, tapi Gebra senantiasa menahannya.

“Perban sudah bisa dilepas setelah tujuh hari pascaoperasi. Kalian boleh membawanya pulang, atau membiarkannya di sini selama tujuh hari. Mengindari kejadian yang tidak diinginkan."

"Tapi secara keseluruhan Anggita tidak papa kan, Dok?" tanya Edgarka khawatir.

"Tidak papa, Pak Edgarka. Operasi berjalan dengan sangat lancar. In syaa Allah, Anggita akan kembali bisa melihat. Ada malaikat kecil yang secara sukarela memberikan pengheliatannya. Semoga amal ibadahnya di terima di sisi-Nya," jawab dokter itu mengulas senyum tipis.

Vans menutup mulutnya tak percaya. "Orang yang mendonorkan matanya untuk Anggita sudah meninggal?"

Gabriel semakin terdiam sejenak. Memandang Anggita marah. Gadis itu sedang mendengarkan pembicaraan antara dokter dan keluarganya. Dia tidak rela, mata adiknya diberikan pada gadis iblis seperti Anggita.

Dokter itu mengangguk. "Iya, dia sudah pergi. Sebaiknya kalian berdoa untuknya, sebagai tanda jasa. Kalau begitu saya permisi."

“Terima kasih banyak, Dok.”

“Sama-sama.” Lantas dokter itu keluar dari ruangannya.

Mata itu ....

Mata itu milik adiknya.

Milik Aira. Mata itu milik Aira. Mata indah itu tak pantas diberikan pada Anggita.

“Kamu kenapa Gabriel? Aira mana? Kamu udah nemuin Aira?” tanya Edgarka menepuk bahu Gabriel.

Dengan tangan bergetar Gabriel menunjuk mata Anggita. “Itu, Aira ada di sana Pa. Aira ada di sana,” tunjuk Gabriel. Air matanya mengalir deras. Sesak, perih, dan sakit bercampur menjadi satu.

“Sadar Gabriel! Kamu kenapa!” Gebra menepuk pelan pipi Gabriel.

“Ka, Kakak pasti nyalahin Aira kan?” tanya Gabriel menepis kasar tangan Gebra dari pundaknya, “kalian semuanya nyalahin Aira kan?! Aira! Aira terus yang disalahin! Aira!”

“Gabriel, kamu lag—”

Gabriel menempelkan kedua telapak tangannya, memohon. “Ma, tolong. Kali ini aja percaya sama Aira, Ma. Selama ini Aira gak buat salah. Aira buat masalah karena mau nutupin masalah dia, Ma. Dia benci sama Aira. Dia mau buat Aira menderita. Dia sampah Ma, dia iblis.”

Plak!

Gebra menampar Gabriel. Vana menutup mulutnya kaget.
 
“Gebra!” teriak Vana.

Hello, Friend?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang