HAPPY READING
(Awalnya mau diliburan, jadi Minggu ini enggak update. Karena banyak yang minta up jadi diusahain. Lagi UTS soalnya, doain lancar ya)
“Aira,” panggil Gabriel pelan. Mengusap pipi adiknya lembut. Sudah pagi menjelang siang tapi adiknya tak kunjung membuka mata. Ini kali ketiga dia balik ke kamar Aira, dan ketiga kalinya juga dia masih melihat adiknya belum bangun.
“Aira, bangun.” Tepukan Gebriel di pipi sedikit mengencang. Suhu tubuh Aira tinggi serta wajahnya semakin memucat.
Dalam kepanikan Gabriel menggendong bridal Aira lalu berlari ke luar kamar, berniat membawa Aira ke rumah sakit. Baru mencapai anak tangga terakhir kaki jenjangnya langsung berhenti tatkala mendengar suara panggilan berat. Dia menoleh, mendapati seorang lelaki dewasa sedang berjalan ke arahnya. Sama seperti Gabriel, lelaki itu juga sama paniknya.
“Ada apa? Kenapa kamu bawa Aira?” tanya Gebra menyentuh kening Aira, “panas. Kita bawa ke rumah sakit!”***
“Aira demam tinggi. Ada baiknya Aira dirawat di sini sampai kondisi tubuhnya membaik. Kalau begitu saya pergi dulu.” Seorang dokter berkacamata bulat tipis itu pergi setelah memberitahu tentang kondisi Aira.
Gerald—dokter sekaligus kakak sepupu Gebra, Gabriel dan Aira—bergeming. Memerhatikan secara detail wajah pucat adik sepupunya. Aira adalah adik sepupu kesayangan. Sebatas adik sepupu tapi dia menganggap seperti adik kandungnya sendiri, bagian dari dirinya sendiri. Gadis ceria dan kuat seperti Aira harus terbaring di brankar rumah sakit. Sedih, otaknya seakan diremat kuat-kuat.
Pandangan beralih ke Gebra. “Ada apa ini Gebra? Kenapa Aira bisa sakit parah seperti ini? Apa kalian menuntut Aira untuk menjadi yang terbaik di sekolah?” Gerald bertanya dengan nada dingin.
Gabriel terdiam, mulutnya serasa gatal ingin menceritakan semuanya pada Gerald. Keinginan Gabriel harus disimpan rapat-rapat. Mulutnya sudah terkunci dan harus terkunci. Sampai berita ini diketahui keluarga besar terutama orang tuanya sendiri maka tidak baik untuk Aira dan juga Gebra sebagai pelaku tindak kekerasan.
“Kami enggak nuntut sama sekali, Kak. Aira sendiri yang mau belajar mati-matian sampai ambruk kayak gini,” jelas Gebra berbohong.
“Anak itu memang sangat keras kepala. Sekalinya membuat khawatir, kami ketar-ketir. Ini keluarga belum tahu semua, kalau udah tahu bisa kelimpungan setengah mati. Kamu lihat tadi Ken? Dia enggak fokus jalanin tugasnya pas denger kabar ini.” Dengkus Gerald. Jemarinya menyisir rambut Aira. Terasa kasar, tak biasanya. Gerald merasa ada yang berbeda dari Aira. Diliriknya jam tangan. “Sebentar lagi ada tugas. Kalian jaga Aira baik-baik ya? Udah hubungi Om Edgarka sama Tante Vana?”
“Handphone mereka tidak aktif, Kak. Kemarin sempat menelepon dan katanya hari ini mereka akan pulang,” jawab Gabriel cepat.
Kepala Gerald mengangguk dua kali pertanda puas dengan jawaban Gabriel. Dia menarik pipi Aira bagai squisy. Itulah yang Gerald lakukan saat bertemu dengan Aira. Menarik pipi Aira lalu meminta Aira membuat permintaan agar dia bisa mengabulkannya. Lama tak bertemu sekali bertemu dalam keadaan seperti ini. Bukankah menyakitkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Friend?
Roman pour Adolescents"Lo seriusan mau temenan sama gue? Gue miskin loh, gak jijik emang?" tanya Anggita yang langsung dibalas gelengan oleh Aira. "Mau. Gue anggap semua orang itu sama. Miskin kaya, pinter dan gak pinter, gue gak peduli. Di mata gue, semua orang itu sam...