6. Rencana Baru lagi🌱

206 36 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selamat Membaca. Sebelum membaca, tekan bintang dulu ya☺️

.
.
.


“Sampai dengan selamat, dan kita gak telat.”

Aira mendekus kesal, menyodorkan helm yang baru dia lepas. Sedari tadi dia khawatir dengan kata ‘mahal’ si tukang ojek pencari kesempatan ini. Sekilas Aira melirik name tag di seragam sekolah cowok itu. Terpampang nama ‘Farel Tri Kharisma’ di sana. Namanya cukup keren, saking kerennya nama dan sikapnya berbanding terbalik.

“Berapa?!” tanya Aira jutek.

“Apanya?” Farel balik bertanya, berpura-pura tidak tahu maksud pertanyaan Aira.

“Gue harus bayar berapa, Mas Tukang Ojek?”

“Nanti aja deh, gue mau mikir dulu. Sekarang gue mau minta nomor lo. Nih ketik nomor lo di sini.” Farel menyodorkan handphone-nya ke hadapan Aira.

Ah, sekarang Aira mengerti.

“Bilang aja mau modus! Minta nomor gue!” tandas Aira, langsung mengerti tahap-tahap awalan mereka bertemu. Mulai dari memberikan bantuan berupa uang untuk naik bus, membuat kesepakatan dan berakhir naik motor bareng cowok itu. Ada alasan tertentu mengapa cowok itu, bermain-main dengannya. Ternyata, nomor handphone.

Seperti di novel-novel, apa mungkin cowok itu akan meng-klaim dia sebagai pacarnya. Cepat-cepat dia menggeleng, alasan macam apa itu. Sangat tidak mungkin, hanya karena masalah sepele dan perihal balas budi, tiba-tiba cowok itu meng-klaim dia sebagai pacarnya. Namun yang sedang dia pikirkan ini adalah dunia novel, kenyataannya adalah cowok itu ingin memerasnya. Tidak hanya sekali tapi mungkin cowok itu akan memerasnya berkali-kali.

“Gue cuma takut lo kabur, mangkanya gue mau minta nomor lo,” balas Farel santai, “cepet! Minta nomor lo!” Cowok itu memaksa, semakin mendekatkan handphone-nya ke Aira. Namun Aira langsung mundur, menghindarinya.

Jari telunjuk Aira terangkat, menunjuk wajah Farel. “Gue pasti bayar kok! Serius. Eh, dua rius kalau lo gak percaya!” Kini, tidak hanya jari telunjuk, jari tengahnya terangkat juga. Terlihat, seperti Aira ingin mencungkil mata Farel. Kening Farel berkerut, menatap Aira lekat-lekat. Entah mengapa ditatap oleh Farel membuat dia salah tingkah, untungnya seseorang yang sedari tadi dia tunggu datang juga.

“Kak Gabriel!” panggil Aira, tangannya diangkat ke atas—melambai-lambai singkat—pada cowok yang baru saja turun dari motornya.

“Mampus, makan tuh Gabriel!” ejek Aira dalam hati.

“Aku cariin ke mana-mana, sempet khawatir dan mau telepon Kak Gebra juga. Ternyata sama—“ omel Gabriel, melirik cowok yang sedang bersama adiknya, “Farel?”

“Iya, Kak. Tadi adik lo duduk di halte, lagi bongkar-bongkar tas. Gue kira lagi ngapain ternyata lagi cari duit buat naik bus,” jelas Farel.

Sial, ternyata Gabriel dan Farel saling mengenal. Lantas, Aira harus bagaimana sekarang?

Gabriel berdecak, raut wajahnya langsung berubah menjadi kasihan bercampur rasa bersalah. Dia menepuk-nepuk bahu Farel. “Thanks ya, Bro, udah ngangkut adek gue.”

Apa-apaan ini?!

“Kak! Cowok ini minta bayaran mahal, bayar tuh, aku gak bawa duit!” adu Aira, berharap Gabriel mahal dan langsung melempar sejumlah uang tepat di wajah Farel. Harapannya sirna, bukannya marah, Gabriel malah tertawa diikuti oleh Farel.

“Dia suka becanda, serius amat. Emang bener, Rel? Mau minta bayaran berapa?”

“Bercanda Ai. Sorry, tapi lo bisa bales pake traktiran. Di kantin boleh deh,” sahut Farel sambil tertawa ringan. Sungguh, tawa itu membuat Aira muak.

“Suka lo sama adek gue?” tanya Gabriel pada Farel. Pertanyaan biasa, tapi Aira bisa tahu apa yang akan dilakukan Gabriel jika lawan bicaranya menjawab pertanyaan itu dengan kata ‘iya’.

Farel menggeleng. “Enggak ada niatan juga si. Ya udah, bentar lagi bel nih. Kita masuk kelas?”

“Apa-apaan si anjir! Kok jadi gini?” batin Aira menjerit.


***


Melihat Aira menderita, Anggita menjadi bahagia. Wajah murung Aira sudah memperlihatkan dengan jelas, bahwa keluarganya sudah menghukum gadis itu. Sejak masuk kelas, sampai saat ini Aira tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia jadi penasaran hukuman apa yang sudah keluarga Aira berikan untuk putri tercinta mereka. Hukuman kali ini tidak bisa diremehkan, pasti berat untuk Aira.

“Mau ngantin, Ra?” ajak Anggita, berpindah duduk ke depan dan berhadapan dengan Aira.

Aira menghela nafasnya panjang, kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Enggak deh, lo aja,” tolaknya halus. Gadis itu membuka buku pelajarannya, mulai menyibukkan diri dengan membaca buku. Dia tidak mood melakukan apa pun apalagi makan. Kejadian semalam masih berputar-putar di otaknya.

“Lo pasti marah ‘kan sama gue?” tanya Anggita sedih, kepalanya tertunduk ke bawah menatap jemari tangannya.

Mendengar itu, refleks Aira menggeleng cepat. “Enggak, gue gak marah kok sama lo. Tapi ... jujur aja, Git, gue kesel sama lo. Kemarin semua anggota keluarga gue marah, terutama Kak Gebra, dia ... dia bentak gue, dia marah-marah sama gue. Dari dulu gue belum pernah denger Kak Gebra semarah ini, dan sekarang,” ungkap Aira sesak, mengingat kemarahan Gebra semalam membuat matanya memanas. Air matanya ingin turun, “lo inget ‘kan novel dewasa yang lo titipin sama gue? Kak Gebra liat itu, dia banting novel itu tepat di hadapan gue. Mungkin sekarang, novel itu udah dibakar sama Kak Gebra. Sorry ya, nanti gue ganti.”

Oh yeah! Sungguh, betapa bahagianya Anggita sekarang. Aira sudah terkena masalah dan, karena novel itu masalah Aira bertambah. Hati dan jiwanya sedang melompat kesenangan, tapi demi menjaga hubungan pertemanannya dia harus berpura-pura bersedih dan merasa bersalah. Matanya berkaca-kaca, bersiap menumpahkan air mata palsu. Dia menggenggam erat tangan Aira.

“Lo enggak usah pikirin novel itu lagi, lo gak perlu ganti. Gue ngerasa bersalah banget, maaf ... gue minta maaf. Gue belagu, gue gak pantes jadi temen lo Ra. Gue selalu nyusahin lo, ma—”

Aira menutup mulut Anggita kemudian beralih, mengusap air mata gadis itu. Deras, sangat deras, sampai hatinya lemah dan ikut menangis. Anggita menarik tangan Aira, memeluknya erat. Air mata yang Aira bendung, kini meluncur tanpa beban. Hanya Anggita, satu-satunya sandaran. Hal kecil pun dia tidak bisa menyembunyikannya dari Anggita.

“Maaf, Ai ... gue minta maaf,” lirih Anggita.

“Lo gak perlu minta maaf, Git. Gue tulus lakuin ini buat lo. Gue, gak bakal biarin lo kena masalah. Gue gak mau beasiswa lo sampe dicabut. Temen gue itu cuma lo dan Novalen. Biarin gue aja yang kena masalah, toh seberapa pun gue kena masalah, ya paling hukumannya cuma gitu-gitu aja hahaha,” tutur Aira diakhiri suara tawa renyah. Dia melepaskan pelukannya seraya menghapus sisa air matanya.

“Ngomong-ngomong, hukuman lo apa, Ra? Gak berat ‘kan?”

“Enggak berat si, cuma motor, Hp, laptop, kartu debit kredit, disita Kak Gebra. Biasanya Papa yang nyita, tapi tiba-tiba Kak Gebra yang ambil alih,” jawab Aira, “menurut gue sita barang gak berat, yang berat itu didiemin Kak Gebra!”

“Kakak lo emang semarah itu ya? Gue lihat, kayaknya kakak lo bukan tipe pemarah. Enggak mungkin ‘kan kalau dia marah, apalagi sampe bentak?”

“Asli ya, kalau inget bawaannya pengen nangis. Liat mukanya aja sekarang gue jadi takut, emang bener kata orang marahnya orang pendiem itu lebih menakutkan dari apa pun.” Aira bergidik ngeri, berusaha menepis ingatan soal semalam.

“Emang kakak lo pendiem?”

“Bukan pendiem si, kalem. Kakak gue itu ramah, hangat dan penyayang banget.”

“Kakak lo? Gabriel?”

Aira melotot, menoyor kepala Anggita kesal. “Enak aja! Kak Gebra,” koreksinya.

Anggita tersenyum tipis, rencana baru seketika muncul di pikirannya. Sepertinya akan seru, menarik kemarahan Gebra, orang yang sangat disayangi oleh Aira. Dia akan pastikan, setelah ini tidak ada lagi sebutan ‘kakak impian’.

Lihat saja nanti.

TBC

Sampai jumpa hari Minggu, kalau gak kesiangan wkwk

Hello, Friend?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang