Bab 4: Keputusan Yang Sulit

19 9 0
                                    

Hanifah menyapu lantai halaman depan yang berdebu. Debu bertambah tebal karena angin bertiup kencang. Belum ada air hujan yang mengguyur sehingga tanah masih mengering.

Setiap sore, Hanifah menyibukkan diri dengan membersihkan isi rumah kemudian membersihkan diri sendiri. Mandi membuat badan kembali segar, rasa kantuk yang menyerang pun menghilang.

Setelah selesai mandi, ia mendengar Bapak dan Ibu yang memanggil dari ruang tamu. Ia pun menghampiri. "Ada apa, Bu, Pak?"

"Bagaimana, Nif, kamu sudah memikirkannya? Bersediakan kamu bertemu dengan teman Pak Ghani?" tanya ibunya tanpa berbasa-basi.

Baru mendengar kata bertemu, Hanifah kembali membayangkan masa lalu. Karena hal itu, ia menjadi bimbang. "Hanif masih memikirkannya, Bu. Hanif juga butuh waktu dan harus punya pemikiran yang matang sebelum memberi jawaban. Karena, ini kan menyangkut masa depan Hanif. Tidak semudah itu aku menyetujuinya, Bu."

"Jangan terlalu menutup diri, Nif. Bukalah hatimu untuk laki-laki lain yang lebih baik. Mungkin kamu masih trauma, tapi jangan sampai masa lalu itu tidak membiarkan masa depanmu bahagia. Kamu harus mulai memikirkan kebahagiaanmu, Nif," ucap bapak Hanifah.

Hanifah terdiam, ia lupa cara membahagiakan diri. Tidak punya pasangan, tidak punya banyak teman. Sehari-hari, ia sibukkan dengan membantu ibunya berjualan dan malam hari mengajar mengaji. "Hanif akan memikirkannya. Hanif mau ke kamar."

Ia pun menuju kamar, membawa banyak pikiran di kepala.

Kebahagiaan merupakan perasaan yang mengandung rasa senang, cinta, kepuasan, kenikmatan, gembira yang intens, juga ketenteraman hati. Perasaan-perasaan itu hampir lenyap dari dirinya. Sudah lama ia tidak memikirkan kebahagiaannya sendiri.

Menurutnya, rasa senang saja sudah cukup; senang membantu ibunya berjualan, senang mengajar mengaji. Namun setelah mendengar bapaknya membicarakan kebahagiaan, Hanifah merasa kosong. Kebahagiaan mencintai dan dicintai sudah ia kubur dalam-dalam. Begitu dalam hingga perasaan itu sulit muncul ke permukaan.

Dari dalam kamar, ia mendengar ada yang datang ke rumah. Suara laki-laki, Hanifah mengenal suara itu. Ternyata Pak Ghani yang datang menemui kedua orangtuanya. Ia pun keluar kamar untuk mendengar lebih jelas perbincangan mereka tanpa menemui langsung ke ruang tamu.

"Pak Ghani, saya sudah menunggu kedatangan Bapak. Silakan duduk," ucap bapak Hanifah.

"Bagaimana, Pak, apakah teman Pak Ghani bersedia bertemu dengan Hanifah?" tanya ibu Hanifah tanpa basa-basi.

"Dia sudah memberikan jawaban untuk pertemun ini," ucap Pak Ghani sambil tersenyum ramah.

"Benarkah? Apa jawabannya?" Ibu Hanifah terlihat begitu semangat.

"Kalian tenang dulu. Oh iya tenggorokan saya terasa kering, pasti karena di luar masih terasa panas, padahal sudah sore. Di mana Hanifah? Bukankah sebaiknya Hanifah mendengarkan berita ini juga." Pak Ghani mengusap leher.

"Sebentar, Pak, akan saya ambilkan minum dan juga memanggil Hanifah. Kalian lanjut mengobrol saja." Ibu Hanifah meninggalkan ruang tamu memasuki ruang keluarga. Ia terkejut ketika melihat Hanifah berdiri dekat dinding. Ibu Hanifah langsung memerintahkan anaknnya mengambil minuman untuk Pak Ghani, sedangkan dirinya kembali ke ruang tamu. "Hanifah sedang mengambil minum," ucapnya sambil kembali ke tempat duduk.

Tak lama berselang, Hanifah ke ruang tamu sambil membawa nampan beserta tiga gelas yang berisi air. Ia menaruh satu per satu gelas di depan Pak Ghani, bapaknya, dan ibunya.

"Hanifah, kamu ikut duduk di sini!" perintah bapak Hanifah.

Dengan perasaan tidak karuan, Hanifah kemudian duduk di kursi yang kosong. Ia tidak begitu antusias dengan pertemuan ini. Namun karena sudah terlanjur terpergok sang ibu, ia tidak bisa mengelak lagi.

Pak Ghani tidak segan minum air yang sudah disuguhkan, bagaimanapun rasa haus tidak tertahankan lagi. "Bagaimana kabarmu hari ini, Nif?" tanyanya setelah selesai minum untuk mencairkan suasana.

"Baik, Pak." Hanifah tetap berusaha tersenyum.

"Alhamdulillah. Bagaimana suasana hatimu? Apakah sudah lebih baik?"

"Apakah saya harus menjawab pertanyaan ini?" Hanifah tidak tahu harus menjawab baik atau tidak, sementara perasaannya sedang sangat kacau.

"Tidak perlu. Kami sebagai orang tua cukup mengerti. Kamu mungkin bingung juga memikirkannya. Tetapi sebelumnya kamu juga harus memahami kenapa kami ingin mengenalkan seseorang kepadamu. Ibumu begitu sayang padamu, maka dari itu beliau meminta bantuan saya. Melihat kepeduliannya, kecemasannya, saya jadi tersentuh untuk membantu."

"Ibu, Bapak, kalian seharusnya tidak perlu repot-repot meminta bantuan Pak Ghani. Kenapa kalian harus menjodohkanku? Jika aku menolaknya bagaimana? Bukankah itu akan membuat kalian malu?"

"Kamu tidak berniat menolak kan, Nif? Kami tidak menjodohkan kamu, kami hanya ingin mengenalkan seseorang kepadamu. Kamu sudah lama menutup diri, sudah lama tidak bahagia. Apakah kami sebagai orang tua akan diam saja melihat anaknya menderita? Kami sayang denganmu, Nif," jelas bapak Hanifah.

"Aku tidak mau dijodohkan. Titik." Hanifah sudah lama tidak berurusan dengan laki-laki yang ingin dekat dengannya. Banyak yang datang ke rumah untuk berkenalan, tetapi ia selalu menolak.

Orangtuanya hampir putus asa. Tentu sebagai orangtua selalu ingin anak perempuannya bisa bertemu dengan jodoh dan menikah. Sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk mencari pasangan yang terbaik untuk anaknya. Ibu Hanifah tahu jelas bahwa anaknya masih trauma, tetapi jika membiarkannya terus menerus menyendiri, Hanifah akan sulit untuk mendapatkan pasangan.

"Hanifah, kamu mau, ya, kali ini bertemu dengan temannya Pak Ghani." Ibu Hanifah terlihat memohon.

"Hanifah, ketahuilah betapa orangtuamu menyayangimu. Tidak peduli berulang kali kamu menolak, mereka masih terus mencoba. Mereka ingin kamu bahagia dengan kehadiran seseorang yang bisa menyayangimu. Mereka juga sadar tidak akan selamanya bisa menjaga kamu, itulah sebabnya mereka ingin sekali kamu memiliki pasangan hidup. Pasangan yang bisa menjaga kamu, menemani kamu, mereka sebagai orangtua akan tenang jika kamu sudah mendapatkan kebahagiaanmu yang semestinya," ucap Pak Ghani.

Hanifah memandangi kedua orangtuanya. Sangat berat baginya untuk membuka hati lagi. Setelah mendengar ucapan Pak Ghani, ia baru mengerti bahwa orangtuanya tidak sekedar mengenalkan pasangan untuknya, tetapi juga ingin ia bahagia. Apakah dengan memiliki pasangan hidup akan bahagia?

"Hanifah, saatnya kamu melupakan masa lalu dan memandang masa depan. Kami tahu mungkin berat untukmu, tapi kami sebagai orang tua tidak akan pernah berhenti berharap. Dan juga kami tidak akan memaksa. Jika kamu tidak bersedia kali ini, kami akan berusaha lagi mencari yang terbaik untukmu. Saya sebagai orangtua berterima kasih sekali kepada Pak Ghani yang telah bersedia membantu. Apapun keputusan Hanifah saya akan mendukung," ucap bapak Hanifah.

"Hanifah, Ibu juga tidak akan berhenti mencoba lagi jika kali ini kamu tidak bersedia. Tidak apa-apa. Mungkin Ibu agak memaksa tanpa memikirkan perasaanmu terlebih dulu. Tapi semua ini Ibu lakukan demi kebahagiaanmu. Memiliki pasangan hidup lalu menikah dan berkeluarga adalah hal yang membahagiakan. Ibu akan terus mencarikan pasangan yang baik untukmu sampai kamu bersedia. Ibu ingin melihat kamu menikah, Nif,"  jelas Ibu Hanifah.

"Kalau Hanifah masih merasa berat, mungkin butuh waktu untuk memikirkannya. Saya akan kasih waktu Hanifah untuk berpikir, mungkin besok saya akan kembali lagi. Bagaimana?"

"Tidak perlu Pak Ghani. Saya tahu saya terlalu menutup diri. Masa lalu itu merupakan pukulan berat untuk saya, tidak mudah bagi saya untuk memulai lagi. Saya masih takut kecewa lagi, tetapi sekarang saya lebih takut membuat orangtua saya kecewa. Maafkan Hanifah ya, Pak, Bu. Selama ini Hanifah menyusahkan kalian. Ternyata kalian begitu peduli dengan Hanifah. Hanifah sudah memutuskan akan bersedia bertemu dengan laki-laki pilihan kalian. Asalkan kalian bahagia, Hanifah juga akan bahagia." Hanifah memeluk kedua orangtuanya bergantian.

================================

04 Juli 2021 @
Cinta di Tanah yang Kering
Ditulis oleh Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam Anfight Batch 9

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang