Bab 18: Kegelisahan Yang Misterius

14 3 0
                                    

Gamis batik merah muda sudah terpasang pada pemiliknya. Pashmina merah yang menutup kepala dan dibentuk menghalangi dada begitu padu dengan warna gamis. Hanifah berdandan lebih lengkap dari biasa. Ia yang sudah cantik sejak lama semakin memancarkan aura kedewasaan.

Karena hari ini, hari yang spesial, ia dilarang keluar kamar sampai dipanggil. Dirinya hanya menuruti perintah sang ibu yang mengatakan rumah akan dibersihkan dan ia tidak boleh melakukan aktivitas di luar kamar agar tetap menjaga kesehatan.

Meski beres-beres sudah selesai, dan ia sudah berdandan, Hanifah tetap tidak boleh keluar dengan alasan agar aura tetap cantik. Namun, karena peraturan itu, ia semakin gugup dan tidak bisa tenang. Kegiatan tersebut bukanlah adat istiadat yang sering dilakukan warga desanya. Hanifah tahu berdiam diri di kamar hanya keinginan sang ibu agar dirinya tidak merusak penampilan karena suka ikut berbenah.

Ibu Hanifah masuk ke kamar untuk mengecek keadaan anaknya. Ia tersenyum saat melihat sang anak begitu cantik. Dirinya sangat menantikan peristiwa ini. "Kamu tidak perlu gugup, Nif." Ia berjalan mendekati Hanifah.

"Masih lama ya, Bu? Hanifah sudah tidak betah. Panas di sini." Sebagai perempuan yang suka membantu sang ibu, Hanifah memang tidak senang hanya duduk-duduk saja. Ia ingin sekali terlibat, walau hanya pekerjaan yang ringan.

"Kan sudah pakai kipas. Mungkin kamu sudah tidak sabar ya, mau bertemu Fadhil?" goda sang Ibu sambil duduk di sebelah Hanifah.

"Bukan begitu, Bu. Kalau di luar kan Hanif bisa mengobrol sama yang lain. Bisa juga bantu-bantu sesuatu."

"Tidak perlu repot, Nif. Kamu adalah harta berharga kami. Kami harus memperlihatkan yang terbaik kepada laki-laki yang akan datang melamarmu. Laki-laki itu pasti akan sangat beruntung."

"Tapi, Bu. Kalau Mas Fadhil memang mau menerima Hanif dengan tulus, tentu ia tidak akan mempermasalahkan penampilan Hanif."

"Memang betul begitu. Tapi acara ini bukan hanya urusan dirimu dan Fadhil, tetapi juga keluarga kedua belah pihak. Mereka juga akan menilai seperti apa calon menantunya. Jika pada saat acara penting seperti ini tidak menunjukkan yang terbaik, Ibu sebagai orangtua akan merasa menyesal."

"Jangan seperti itu, Bu. Meski orang lain tidak menyukai Hanif, apalagi hanya karena penampilan, Hanif tetap akan sayang sama Ibu. Ibu adalah ibu yang terbaik."

Ibu Hanifah mengembangkan senyum. "Sudah. Sudah. Ini hari bahagiamu, Nif. Tetap tersenyum. Ibu yakin Fadhil akan semakin jatuh cinta padamu."

"Ibu, jangan berlebihan begitu." Hanifah senang dengan harapan ibunya, tetapi masih malu untuk mengakui. Ia masih belum percaya dirinya bisa melangkah sejauh ini. Bahkan, proses ini berjalan begitu cepat.

Setelah menenangkan sang anak, ibu Hanifah meninggalkan kamar untuk lanjut mempersiapkan beberapa hal.

Meski sudah diberiarahan oleh sang ibu, Hanifah tetap merasa gelisah. Ia pun mengambil Al-Qur'an, lalu membaca surah Maryam yang membuatnya kagum dengan kesabaran sosok perempuan bernama Maryam tersebut.

Beberapa waktu kemudian, sudah tiba saatnya acara dimulai, tetapi Hanifah belum mendengar suara Fadhil. Ia juga belum dipanggil oleh ibunya. Kegelisahan semakin mencuat saat menit terus bergulir tanpa ada tanda-tanda kehadiran seseorang yang ia tunggu.

Sejak tadi, dirinya merasa tidak nyaman. Meski sudah membaca Al-Qur'an dan lebih tenang, perasaan tidak enak masih terus ada. Namun, ia sama sekali tidak bisa menebak sesuatu yang sudah atau akan terjadi. Dirinya hanya bisa merasakan ada yang tidak beres.

Azan zuhur berkumandang. Hanifah merasa tidak mungkin lagi berdiam diri dalam kamar terus-menerus. Ia pun keluar untuk menemui orang tuanya.

"Nif, kenapa kamu keluar?" tanya ibu Hanifah yang sedikit terkejut saat melihat sosok sang anak.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang