Hanifah berjalan pulang setelah mengantre air seperti biasa. Ia sudah berada memasuki wilayah tempat tinggal, kira-kira tidak butuh waktu terlalu lama akan sampai. Namun perjalanan itu terasa lambat karena ia sambil memikirkan kisah yang akan terjadi jika dirinya bertemu dengan temennya Pak Ghani. Seperti apa orangnya? Baik atau tidak? Apa harus benar-benar bertemu?
Perkenalan ini sudah menjadi bahan pikiran tanpa henti. Tidak hanya di jalan, di rumah, atau di mana pun, ia jadi memikirkan hal itu. Hari-harinya tidak lagi tenang. Kali ini, ia tidak lagi membenci tentang perjodohan, justru rasa penasaran yang sedang ia hadapi.
Hanifah tidak ingin lagi menolak permintaan orangtuanya. Jika menolak, ia akan menghadapi lagi dan lagi pertemuan seperti ini. Dirinya juga pernah kabur saat pertemuan, bersembunyi di tempat pamannya. Ada lagi, ia bermain ke sawah dan tidak pulang. Tidak pernah ia sangka bahwa orangtuanya pantang menyerah.
Semakin sore, panas masih menyengat, Hanifah berjalan lebih cepat karena berharap segera sampai rumah. Ia sangat ingin merasakan angin dari kipas. Sebelum itu terjadi, langkahnya terhenti.
Ada seorang laki-laki yang menggendong anak laki-laki berjalan ke arahnya. Hanifah melihat anak laki-laki yang digendong dan sangat mengenali wajah yang tirus itu. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu menggendong Putra?" tanyanya sedikit cemas.
"Kamu mengenalnya?" ucap laki-laki yang tidak lain adalah Fadhil, "Putra sedang sakit, jadi saya mengantarnya pulang. Tadi Putra memberitahu saya ke mana arah rumahnya, tapi sekarang dia tertidur. Apa kamu tahu rumahnya?"
"Saya tahu. Sebentar lagi sampai rumahnya," jawab Hanifah sambil tetap menjaga hati. Untuk pandangan pertama, ia cukup terkesima melihat sosok laki-laki di hadapannya. Jika bukan karena ia melihat Putra, ia tidak akan berani berlama-lama dengan laki-laki itu.
"Bisa kamu antarkan saya. Saya tidak ingin membangunkannya. Biarkan dia istirahat."
"Tentu bisa. Ayo ke sini."
Fadhil mengikuti langkah Hanifah. Ia berjalan di sampingnya.
"Kamu siapanya Putra? Kenapa kamu bisa mengantarnya pulang?" tanya Hanifah yang sedikit penasaran karena ini berhubungan dengan salah satu muridnya.
"Saya gurunya. Kebetulan tadi belum pulang dan melihat Putra sedang tidak enak badan. Saya membawanya ke klinik, terus sekalian saya mengantarnya." Fadhil berbicara sambil memandang jalan di depan.
Melihat sikap Fadhil yang seperti itu, Hanifah pun berusaha fokus memandang ke jalur yang dituju. Ia juga bersyukur karena laki-laki di sampingnya tidak mencoba bermain mata. Jika sampai itu terjadi, ia akan memilih menurunkan Putra dengan paksa dan meninggalkan Fadhil seorang diri. "Jadi begitu ... kamu peduli sekali. Bagaimanapun, kamu kan hanya seorang guru. Kenapa tidak menghubungi orangtuanya saja untuk menjemput?"
"Saya bisa saja seperti itu, tapi melihat keadaan Putra, saya pikir tidak mungkin menunggu lama lagi hingga ada yang menjemputnya. Lebih baik jika saya saja yang mengantarnya. Biar dia lebih cepat istirahat."
Hanifah mengangguk setuju setelah mendengar penuturan Fadhil. "Belok sini." Ia masih menuntun jalan sambil belok ke kiri dan Fadhil pun mengikuti. "Jarang-jarang ada guru yang peduli seperti kamu."
Sebuah pujian yang meluncur begitu saja dari bibir mungilnya. Ia merasa aman sehingga tidak segan untuk berbicara. Padahal, ini pertama kali ia bertemu dengan Fadhil.
"Sudah tanggung jawab saya. Guru kan sebagai pengganti orang tua di sekolah. Jika ada masalah dengan murid-murid saya, sudah seharusnya saya bertanggung jawab membantu mereka. Kamu juga kenal dengan Putra?"
"Kenal. Selain tetangga, Putra juga murid mengaji saya."
"Kamu guru mengaji? Pantas penampilan kamu begitu salihah. Profesi kita tidak jauh berbeda berarti ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Tanah yang Kering ✔️
RomanceBlurb: Kejadian ketika musim panas panjang yang membuat tanah dan tumbuhan mengering, bahkan hingga kekurangan air. Begitu juga cinta yang hampir mengering karena belum menemukan kembali rasanya jatuh cinta. Fadhil mulai mencari pasangan karena sud...