Bab 24: Kekesalan Yang Menyakitkan

10 3 0
                                    

Salat Isya berjamaah telah berakhir, anak-anak berkumpul di bagian perempuan, begitu juga dengan Hanifah serta para ustazah. Mereka sudah siap untuk mengaji di hari terakhir karena hari Sabtu dan Minggu libur.

Hanifah memperhatikan murid-murid yang hadir. Ia merasa tidak nyaman saat melihat Putra tidak berada di deretan murid. Ia memang belum melihat sosok Putra sejak salat Magrib. Padahal, ia masih bertemu Putra di sore hari.

Dirinya tiba-tiba teringat akan luka-luka yang terdapat di tangan Putra. Ia berusaha tenang, dan pelan-pelan meminta izin ke ustazah Rani. "Saya ingin mengecek apakah Putra baik-baik saja. Saya akan kembali setelah mengetahui keadaannya. Tidak masalah, kan, jika saya tinggal sebentar?"

"Bu Hanifah tenang saja, di sini banyak yang mengajar. Jika Bu Hanifah ingin melihat Putra sebentar, tentu saja boleh, tapi ingat jangan membuat masalah dengan ibunya." Ustazah Rani dan beberapa guru mengaji yang lain juga sudah cukup mengenal sikap ibu Putra yang ketus. Namun, perihal sikap kasar ibu Putra kepada anaknya hanya Hanifah dan orang tuanya yang tahu.

Setelah mendapat izin, ia bergegas meninggalkan masjid, lalu berjalan cepat menuju rumah Putra. Ini bukan kali pertama Putra tidak datang mengaji, tetapi ini kali pertama Hanifah merasa tidak nyaman dengan ketidakhadiran Putra.

Saat tiba di rumah Putra, Hanifah ingin mengetuk pintu, tetapi terhenti karena mendengar teriakan dan tangisan dari dalam. Dari suara tangisan itu, tentu dirinya menjadi tahu jika Putra sedang dalam masalah.

Ia tidak mungkin menghadapi ibu Putra seorang diri. Bukan karena takut dengan kata-kata kasar, tetapi karena tidak ingin memperkeruh keadaan. Ia butuh seseorang yang lebih tepat bisa menangani ibu Putra.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia bergegas berlari ke rumah untuk memanggil orang tuanya. Ia sudah pernah memberi tahu mereka sebelumnya tentang kondisi Putra sehingga mereka pasti lekas mengambil tindakan.

"Assalamualaikum, Bu, Pak," panggil Hanifah dengan suara sedang ketika memasuki rumah. Langkahnya yang cepat membuat kedua penghuni terusik.

"Ada apa, Nif?" tanya sang Ibu yang muncul dari dapur. Bau sambal yang telah dimasak menguar ke udara.

Bapak Hanifah keluar dari kamar masih memakai sarung dan baju kokoh.

"Pak, Bu, ayo ke rumah Putra. Barusan Hanif dengar Putra menangis kencang, dan ... ada suara sabetan." Hanifah belum pasti dengan ucapan yang terakhir, tetapi ia mendengar suara yang disebutkan begitu samar. Namun, suara tangisan dan teriakan Putra membuatnya yakin.

Ibu Hanifah yang sudah yakin mematikan kompor, beranjak mengikuti sang suami yang sudah berjalan lebih dulu. Hanifah pun mengekor di belakang mereka.

Di rumah Putra sudah agak sepi, tetapi tangisan Putra masih terdengar dan tidak sekencang sebelumnya.

"Assalamualaikum," panggil Bapak Hanifah.

Pintu terbuka, ibu Putra muncul dari balik pintu. "Waalaikumsalam. Ada apa malam-malam kalian ke sini?"

"Bu, Putra tidak pergi mengaji, bolehkah saya bertemu dengannya? Atau Ibu tahu alasan Putra tidak mengaji?" tanya Hanifah dengan hati-hati.

"Saya memang tidak mengizinkan Putra mengaji hari ini. Apakah saya harus melapor juga jika tidak ingin anak saya pergi?" jawab ibu Putra dengan wajah tidak senang.

"Bolehkah saya bertemu Putra? Saya ingin memastikan Putra baik-baik saja." Hanifah sudah tidak sabar.

"Putra baik-baik saja. Sebaiknya kalian kembali, ini sudah malam dan Putra harus istirahat." Tatapan ibu Putra membuat Hanifah semakin tidak tenang.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang