Bab 19: Kesehatan Yang Penting

9 5 0
                                    

Sakit memang tidak mengenakkan. Pun sakit tidak bisa diduga kapan datangnya. Fadhil hanya bisa pasrah karena harus menjadi pasien di rumah sakit. Jika boleh memilih, tentu ia tidak ingin menginap di tempat rawat, tetapi keadaan memaksa ia berada di sini.

Karena belum diizinkan turun dari ranjang, terpaksa ia menjalankan salat Magrib di tempat tidur. Sebelumnya, ia berwudu dibantu sang ibu yang mempersiapkan air. Setelah itu, waktunya makan malam. Namun, dirinya masih tidak berselera.

Ibu Fadhil memaksa sang anak agar makan beberapa suap. Begitu ia menyendokkan nasi bercampur lauk, Fadhil hanya menggeleng. Ia terus berusaha hingga Fadhil menerima suapan, tetapi anaknya itu begitu enggan mengunyah.

"Sudah ya, Bu," ucap Fadhil setelah susah payah menelan hasil kunyahan. Mulut terasa pahit serta perut yang masih terasa mual, jadi ia tidak bisa menikmati rasa makanan.

Ibu Fadhil menghela napas. Ia tidak mungkin terus memaksa. Obat yang sudah disiapkan suster, dirinya berikan ke Fadhil untuk segera dihabiskan. "Masih pusing, Dhil?"

"Mendingan. Cuma masih lemes. Bu, bagaimana ya, keadaan Hanifah? Pasti ia sangat kecewa karena Fadhil tidak jadi datang." Fadhil memandang atap, ada rasa sesal dan sedih.

"Kamu tidak mau meneleponnya? Sejak tadi telepon kamu berdering, tapi tidak Ibu angkat."

Fadhil berpikir sejenak. Ia tahu pasti ada Pak Ghani yang menelepon. "Biarkan saja dulu, Bu. Fadhil tidak mau orang lain khawatir dengan keadaan Fadhil saat ini."

"Tapi kalau kamu tidak cerita, mereka pasti akan berpikiran yang tidak-tidak. Kalau kamu tidak mau cerita, biar Ibu yang kasih tahu. Ibu tidak mau Hanifah sampai salah paham."

Mendengar nama Hanifah disebut, Fadhil merasakan debaran dalam dada. Ia masih yakin perempuan itu adalah jodoh yang baik. Namun, ada ujian-ujian yang harus ia jalani untuk bersatu dengan Hanifah, seperti melewati masa sakitnya ini. "Ibu jangan cerita sama siapa-siapa tentang keadaan Fadhil. Biar Fadhil yang cerita langsung ke Hanifah dan keluarganya. Fadhil telah melakukan kesalahan, jadi Fadhil akan bertanggung jawab."

"Baiklah, Ibu akan menuruti maumu. Kamu sudah dewasa. Kamu tahu yang harus kamu lakukan."

Fadhil ingin tersenyum, tetapi tiba-tiba menggigit bibir karena merasa perutnya tidak nyaman. Ia mengernyit. Badan pun terasa sakit.

"Dhil, perlu Ibu Panggil dokter?" tanya ibu Fadhil yang menyadari keluhan sang anak.

Fadhil menggeleng. "Fadhil mau istirahat saja." Ia menarik napas pelan-pelan, lalu membuang udara lewat mulut.

Obat yang ia telan mulai bereaksi.

Kantuk menyebabkan mata ingin terpejam. Ia pun terlelap.

Setelah empat puluh delapan jam mendapat perawatan dan pengobatan, Fadhil berangsur-angsur membaik. Ia sudah mulai bisa menerima makanan masuk ke perutnya tanpa protes. Suhu badannya sudah kembali normal.

Karena sudah lebih sehat, Fadhil mulai memikirkan kembali Hanifah. Selama sakit pun, ia tidak bisa melupakan perempuan itu. Ada perasaan bersalah karena sudah mengingkari janji untuk acara yang begitu penting. Namun, ia tahu ini sudah kehendak Allah.

Fadhil sudah bisa duduk lama dan ke kamar mandi sendiri, ia merasa senang karena sebentar lagi bisa keluar dari rumah sakit. Ia berpikir harus segera pulih agar bisa mengatur waktu untuk menemui keluarga Hanifah. Ia berutang penjelasan.

Selama di rumah sakit, ia tidak memberitahu siapa pun mengenai kondisinya. Ia tidak ingin orang lain khawatir. Bahkan, ia hanya mengabari pamannya agar mengantar surat ke sekolah dan meminta pihak sekolah untuk tidak memberitahu guru lain.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang