Bab 3: Kekosongan Yang Terisi

24 12 0
                                    

Gemercik air di pinggiran sawah tidak lagi terdengar, burung bangau tidak terlihat lagi, lahan menjadi tandus. Fadhil menghentikan sepeda sambil memandangi lahan kosong tanpa tumbuhan menghijau. Ia menghirup udara yang tidak ada lagi kesejukan.

Ia sadar hatinya sangat kosong, begitu kering, seperti benda-benda di sekeliling yang ia lihat. Tanah serta tanaman begitu rapuh, menyedihkan, dan mengenaskan. Fadhil pun merasakan dirinya demikian.

Tidak mau terlalu larut dalam ketidakbahagaan, ia meninggalkan tempat gersang tersebut.

Fadhil terus melajukan sepeda menuju sekolah lalu parkir di tempat biasa dan berjejeran dengan sepeda lainnya. Langkah membawanya ke ruang guru. Di dalam ruangan, sudah banyak guru menempati kursi masing-masing. Mereka menyiapkan keperluan yang harus dibawa saat mengajar. Begitu juga Fadhil, ia menaruh tas di meja kemudian mengeluarkan beberapa buku, pulpen, gawai, dan lain-lain dari dalam tas.

"Pak Fadhil, ke sini sebentar," panggil Pak Ghani yang duduk di seberang meja sebelah kiri.

Fadhil harus melewati satu hingga tiga kursi ke sebelah kiri, kemudian berbelok menuju kursi Pak Ghani. Kemudian, ia duduk di kursi yang kosong. "Ada apa, Pak?"

"Cuma mau tahu saja bagaimana pendapat Pak Fadhil mengenai perkenalan itu?" Pak Ghani agak memelankan suara.

Pertanyaan yang masih belum memiliki jawaban pasti. Fadhil menyunggingkan senyum dengan hati yang gelisah. "Masih saya pikirkan lagi, Pak. Saya sudah lama tidak berkenalan dengan perempuan yang bertujuan untuk pendekatan. Apalagi menggoda atau merayu, saya pun tidak berani. Begitu juga jika saya memandang wajahnya, saya tidak bisa lama-lama. Malu, Pak."

"Loh, kok malu segala. Ini demi masa depan Pak Fadhil. Insyaallah, perempuan yang akan saya kenalkan ke Pak Fadhil adalah perempuan yang baik. Pak Fadhil mengerti, kan? Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik."

Fadhil mengangguk.

"Karena itu, saya memilih Pak Fadhil untuk dikenalkan kepadanya." Pak Ghani mengamati wajah Fadhil yang seperti sedang mencerna ucapannya. "Begini saja, kalau Pak Fadhil tidak berani kenalan sendiri, saya yang akan membantu untuk berkenalan. Nah, Pak Fadhil bersedia tidak?"

Keputusan tidak bisa diambil secepat membalikkan tangan. Fadhil tidak akan setuju sebelum hatinya benar-benar yakin. "Saya mengerti, Pak. Untuk masalah perkenalan ini akan saya pikirkan lagi. Hari ini saya fokus mengajar dulu. Nanti sore setelah sekolah bubar, saya akan temui Pak Ghani untuk memberitahu jawaban saya."

"Baiklah, saya tunggu. Biar nanti pulang sekolah saya bisa mengabarkan kepada keluarga mereka. Mereka sangat berharap bisa bertemu Pak Fadhil. Saya sudah menceritakan sedikit tentang Pak Fadhil."

"Terima kasih, Pak. Sudah repot-repot membantu saya."

"Sama-sama Pak Fadhil. Dia perempuan yang tidak akan macam-macam dengan Pak Fadhil. Pak Fadhil juga pasti segan karena keshalihannya. Jadi, saya juga senang memperkenalkannya kepada Pak Fadhil. Semoga kalian jodoh!"

"Aamiin. Eh." Fadhil lekas menutup mulutnya yang kemudian diikuti tawa kecil dari Pak Ghani. "Maaf, Pak. Kalau begitu, saya kembali ke tempat duduk. Saya mau siap-siap untuk mengajar ke kelas."

Di kelas 3B, murid-murid memperhatikan Pak Fadhil yang sedang menjelaskan sambil menulis di papan tulis. Ada juga yang mengobrol pelan satu sama lain. Di pojok belakang ada yang diam-diam menggambar di buku tulisnya.

Fadhil sesekali memperhatikan murid-murdinya.

Selesai menulis dan menjelaskan, ia memberikan tugas untuk para murid agar langsung dikerjakan di buku tugas masing-masing. Sementara dirinya kembali duduk, tak lama pikirannya kembali diisi oleh penawaran dari Pak Ghani.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang