Hanifah merasa nyaman berbincang dengan ibu Fadhil. Seorang perempuan yang ramah, pantas saja Fadhil mewarisi sikapnya. Setelah semua menghabiskan isi mangkuk, Hanifah minta izin untuk membereskannya. Awalnya, ibu Fadhil menolak. Karena kegigihan dirinya, akhirnya mendapat izin. Ia juga membawa mangkuk ke belakang.
Ibu Fadhil jadi pemandu menuju dapur. "Kamu taruh di situ aja." Ia menunjuk pojok bawah, tempat mencuci piring yang berbentuk segi empat terbuat dari semen dan pasir.
Hanifah pun menaruh mangkuk sesuai petunjuk. "Aku bantu bersihkan ya, Bu."
"Jangan, jangan." Ibu Fadhil segera menghampiri Hanifah. "Biar nanti Ibu saja yang bersihkan. Sekarang belum saatnya kamu melakukan ini. Meskipun di masa depan, kamu yang akan melakukannya."
Hanifah tersenyum malu-malu.
"Nak Hanifah, kamu suka membuat kue? Kapan-kapan Ibu ajarin kamu membuat kue-kue kesukaan Fadhil."
"Kue, Bu? Saya belum pernah membuat kue. Kalau masakan biasa, saya sering membantu ibu membuatnya."
"Nak Hanifah bisa masak?"
"Iya, cuma belum bisa buat kue."
"Kapan-kapan biar Ibu ajarin. Kamu bisa masak, beruntug Fadhil kalau bisa bersama kamu. Ia lebih senang membawa bekal dari rumah. Katanya masakan ibunya paling enak. Jadi, Fadhil tidak pernah bosan membawa bekal."
"Begitu ya, Bu. Ibu saya jualan lauk pauk di depan rumah, jadi setiap pagi saya membantu ibu memasak."
"Pasti masakanmu enak. Kapan-kapan masaklah buat Fadhil, dia pasti suka."
"Iya, Bu." Hanifah kembali bersemu. Ia tidak menyangka ibu Fadhil begitu terbuka.
Ibu Fadhil tidak menjaga jarak atau bersikap ketus, justru malah langsung akrab begitu saja. Hanifah seperti menemukan sosok ibu yang lain. Sosok ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Hanifah merasa seperti diperlakukan sebagai seorang anak.
Rasanya Hanifah masih ingin berlama-lama dengan ibu Fadhil, tetapi ia telah disuruh untuk menemani Fadhil di depan. Sementara itu, ibu Fadhil ingin menyiapkan makan siang. Akhirnya, Hanifah melangkah kembali ke ruang tamu. Ia melihat Fadhil sedang menaruh sapu di belakang pintu. Ia tersenyum, lalu duduk di tempat sebelumnya.
"Sepertinya kamu dan Ibu saya sudah akrab. Sampai-sampai saya di sini, kalian melupakannya," ucap Fadhil seraya berjalan ke kursi, lalu duduk.
"Ya, lumayan. Ibumu sangat ramah. Saya jadi merasa nyaman," jelas Hanifah.
"Alhamdulillah kalau sudah nyaman dengan ibu saya. Semoga sikap beliau tidak menyinggung kamu. Ibu senang sekali ada yang bisa diajak mengobrol, jadi mohon maklum ya."
"Saya juga senang, Mas Fadhil, bisa mengobrol dengan ibu." Hanifah tersenyum malu. "Oh iya, kamu masih sering bertemu Putra?" tanyanya menghilangkan rasa canggung.
"Masih, hampir setiap hari saya bertemu dengannya di sekolah. Kenapa memangnya?"
"Saya kepikiran ucapanmu waktu itu yang mengatakan Putra mengalami kekerasan. Beberapa hari lalu ketika saya mengajar mengaji, saya lihat sendiri tangannya ada bekas luka. Saya jadi tidak tega melihatnya."
"Kamu sudah bicarakan ini dengan bapak kamu?"
"Belum. Saya belum ada bukti apa-apa, nanti malah bapak tidak percaya. Dan dikiranya saya menuduh yang tidak-tidak."
"Ajak saja Putra ke rumah kamu. Biar bapak kamu lihat sendiri."
"Bagaimana mengajaknya?"
"Bisa mengundang anak-anak untuk belajar di rumah kamu atau bisa juga berbagi untuk anak yatim piatu sambil berdoa bersama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Tanah yang Kering ✔️
RomanceBlurb: Kejadian ketika musim panas panjang yang membuat tanah dan tumbuhan mengering, bahkan hingga kekurangan air. Begitu juga cinta yang hampir mengering karena belum menemukan kembali rasanya jatuh cinta. Fadhil mulai mencari pasangan karena sud...