Bab 27: Kejutan Yang Mendebarkan

40 5 0
                                    

Hari yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Fadhil tidak mempersiapkan banyak, tetapi membangun niat yang kuat. Tidak ada rencana matang, hanya ada dorongan hati, juga rida Sang Illahi dan sang ibu. Dirinya sudah berada di rumah Hanifah bersama ibunya.

Ia harus menghadapi kedua orang tua Hanifah, bukan sekedar untuk berkunjung, tetapi sedang memperjuangkan putri mereka ke arah yang lebih serius.

Sebelumnya, Fadhil meminta maaf kepada mereka atas kesalahan di waktu yang lalu karena tidak hadir dalam acara yang begitu penting. Begitu juga ibu Fadhil yang ikut mendampingi sang anak memohon maaf.

Suasana sempat tegang ketika Fadhil melakukan itu, tetapi kejadian itu tidak berlangsung lama karena orang tua Hanifah sudah memaafkannya.

"Saya memang sempat kecewa. Sebagai orang tua pasti tidak ingin melihat anaknya bersedih. Tapi saya kembalikan lagi kepada Hanifah karena dirinya yang menjalani hubungan dengan Nak Fadhil. Karena Hanifah sudah memaafkan Nak Fadhil, saya akan mendukung keputusannya. Allah saja Maha Pemaaf."

"Terima kasih, Pak, Bu," ucap Fadhil sambil memandang kedua orang tua Hanifah, lalu berpindah ke sang putri, "Hanifah."

Hati bergetar tidak menentu. Sejak Fadhil masuk ke rumah Hanifah, dan bertemu perempuan itu, serta mengingat tujuannya, dirinya sulit untuk mengendalikan perasaan. Setiap tatapan saling bertemu, rasa terpukau selalu muncul.

"Bagaimana kondisi Nak Fadhil sekarang? Sudah lebih baik?" tanya Bapak Hanifah untuk mencairkan suasana.

"Alhamdulillah sudah semakin membaik," jawab Fadhil berusaha tetap tenang.

"Alhamdulillah." Ibu Fadhil menambahkan. "Sewaktu Nak Fadhil tidak ada kabar, Hanifah yang paling cemas. Setiap hari ingin tahu kabar Nak Fadhil. Baru ini Ibu melihat anak kami begitu perhatian."

Fadhil dan Hanifah saling pandang, lalu sama-sama berpaling. Antara malu dan senang bergelayut dalam hati. Jika Fadhil terus menatap perempuan manis itu, ia cemas akan larut dalam cinta yang tidak bertepi.

"Fadhil juga sama, Bu, setiap hari juga mencemaskan Hanifah. Tidak lama setelah keluar dari rumah sakit, Fadhil tidak sabar ingin bertemu Hanifah." Ibu Fadhil tidak segan untuk membuka kunci rahasia.

"Sayang sekali waktu itu Hanifah belum mau bertemu," lanjut ibu Hanifah sambil senyum-senyum.

"Fadhil jadi harus menunggu. Beberapa hari gelisah terus karena Hanifah tidak memberi kabar." Ibu Fadhil seakan memahami pikiran ibu Hanifah.

Fadhil dan Hanifah yang menjadi bahan pembicaraan sudah tidak bisa mengelak lagi. Malu sekaligus bersyukur. Mereka jadi sadar jika selama ini saling memikirkan.

"Kalian tidak ingin jalan-jalan berdua? Mungkin kalian ada yang dibicarakan," ucap bapak Hanifah yang memperhatikan Fadhil dan Hanifah saling pandang, tetapi tidak saling bicara.

"Bagaimana, Dhil, kamu ingin bicara dengan Hanifah dulu?" tanya ibu Fadhil sambil memandangi sang anak.

Fadhil memandangi Hanifah sebentar dan merasa tidak perlu berbicara hanya berdua karena sebelumnya ia sudah bertemu perempuan itu. Ia tidak ingin mengulur waktu, dan mengingat kembali tujuan datang menemui Hanifah dan keluarganya.

"Fadhil rasa tidak perlu, Bu. Kalau ada yang Fadhil ingin bicarakan, lebih baik langsung saja di sini. Tidak ada yang perlu kami sembunyikan," ucap Fadhil.

"Hanif juga setuju dengan Mas Fadhil." Hanifah berusaha mengerti maksud Fadhil. Ia juga tidak akan sanggup menahan debaran jika hanya berdua dengan laki-laki itu.

"Kalau begitu, kalian bisa saling mengobrol. Nak Fadhil sudah jauh-jauh ke sini karena ingin bertemu dengan Hanifah, kan?" ucap bapak Hanifah sambil memandang Fadhil.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang