Bab 13: Kebingungan Yang Berlanjut

12 5 0
                                    

Sudah seminggu yang lalu sejak pertemuan dengan Hanifah––bukan yang pertama tetapi pertemuan yang kedua––yang menghabiskan waktu di sawah, kini Fadhil harus bersiap lagi untuk pertemuan selanjutnya.

Sudah direncanakan sebelumnya jika kali ini, ia akan membawa Hanifah untuk bertemu dengan ibunya.

Fadhil sudah berada di rumah Hanifah sesuai dengan janji yang telah dibuat. Sambutan hangat dari orang tua Hanifah membuat Fadhil merasa nyaman. Apalagi bapak Hanifah yang begitu baik terhadapnya, sudah lama sekali ia tidak berbincang dengan sosok ayah.

Sebelum-sebelum pertemuan ini dilakukan, Fadhil beranggapan bahwa ia akan menemui sosok bapak Hanifah yang galak dan menakutkan. Seperti cerita yang pernah ia dengar dari teman-temannya ketika menghadapi calon mertua, harus bertemu calon mertua yang tegas ataupun galak, sehingga bisa membuat nyali menciut. Ternyata ia lebih beruntung dari beberapa temannya, bisa bertemu bapak Hanifah yang tegas, tetapi begitu baik.

Dirinya sering diajak berbincang tentang banyak hal, sering ditanya, dan akhirnya terjalin komunikasi yang tanpa jarak dan canggung.

Begitu juga ibu Hanifah yang begitu semangat menyambutnya. Tidak malu-malu bertanya banyak hal, termasuk hubungannya dengan Hanifah. Sering juga ibu Hanifah bercerita tentang sang anak. Secara tidak langsung, Fadhil mengenali seorang Hanifah lebih jauh.

Sudah menunggu hampir setengah jam, akhirnya Fadhil bisa kembali melihat sosok Hanifah. Perempuan itu memakai gamis bahan babat kulit jeruk berwarna cream, memiliki garis hitam tebal melingkari di bagian bawah. Serta ia menggunakan jilbab berwarma hitam yang membuat wajahnya bertambah cerah.

"Nak Fadhil, kami titip anak kami, ya," ucap bapak Hanifah, "tolong dijaga baik-baik! Karena Hanifah anak kami satu-satunya."

"Bapak ikhh, kayak Hanifah mau pergi jauh aja." Hanifah merasa canggung.

"Baik, Pak. Saya akan jaga baik-baik Hanifah. Dan akan mengantarkan anak Bapak sebelum sore menjelang," ucap Fadhil penuh percaya diri.

"Mas Fadhil, dihabiskan dulu minunnya!" Hanifah memandangi gelas yang masih separuh berisi teh hangat.

"Anak kita sudah menjadi lebih perhatian, ya, Bu," goda bapak Hanifah.

"Iya, ya. Sudah siap sepertinya untuk memberi perhatian lebih," balas ibu Hanifah

"Uhuk." Fadhil yang sedang minum pun tersedak karena kaget mendengar ucapan ibu Hanifah.

"Tuh kan, Bu." Hanifah wajahnya memerah. "Mas Fadhil tidak apa-apa, kan?"

"Iya, tidak apa-apa. Tadi sedikit buru-buru minumnya." Fadhil tetap tersenyum, meskipun rasa malu melingkupi.

Fadhil dan Hanifah mendadak canggung, sementara ibu dan bapak Hanifah bersekongkol untuk menggoda kedua anak muda itu.
"Hanifah, kamu jangan diam saja nanti ya dengan Nak Fadhil, kalau ada apa-apa bilang saja! Ingat! Sopan sama calon ibu mertua kamu," ucap bapak Hanifah.

Seketika wajah mereka memerah.

"Bapak, apaan, sih. Mas Fadhil mohon maklum dengan ucapan Bapak, ya. Jangan diambil hati," sangkal Hanifah.

Fadhil tidak menyangka jika perbincangan orang tua Hanifah sudah ke arah yang serius. Meskipun ia juga serius, tetapi dirinya juga harus membicarakan hal ini berdua dengan Hanifah. Ia masih belum tahu perasaan Hanifah yang sebenarnya, sementara dirinya sudah sangat yakin.

Ia juga harus mendapatkan keputusan dari ibunya. Itulah alasan Fadhil sampai harus mengajak Hanifah ke rumah. Bagaimanapun kelak yang akan menjadi istrinya harus tinggal bersama dengan sang ibu, dan tidak mungkin ia akan menyatukan dua orang yang tidak cocok.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang