Setelah kondisi tubuh terasa lebih baik, Fadhil sudah mengikuti salat Isya berjamaah di masjid, begitu juga saat salat Magrib. Sekembali dari masjid dan berganti pakaian, ia mendengar ponsel yang tergeletak di meja berdering. Ia lekas mengangkat dan menyapa, "Waalaikumsalam. Pak Ghani perlu sesuatu sampai menelepon jam segini?"
"Pak Fadhil sedang sibuk tidak? Saya hanya ingin menyampaikan jika ada masalah dengan Putra. Saya sedang di depan rumahnya. Pak Fadhil apakah bisa datang ke sini?" ucap Pak Ghani dari seberang telepon.
"Apa yang terjadi dengan Putra, Pak?" Fadhil tampak cemas karena Pak Ghani sampai menghubunginya hanya untuk mengabari tentang Putra, ia jadi merasa ada yang tidak beres. Ia pun teringat dengan sikap ibu Putra dan luka-luka yang diterima anak itu. "Apa dia baik-baik saja?"
"Saya belum bertemu Putra, tetapi yang saya dengar dari orang tua Hanifah, Putra sedikit syok karena kejadian ini. Pak Fadhil bisa ke sini untuk menjenguk Putra?"
"Baik, Pak, saya akan ke sana. Berarti saya langsung ke rumah Putra." Fadhil langsung bersiap-siap sambil tetap menelepon.
"Iya, Pak Fadhil langsung ke sini saja. Saya masih di depan rumah Putra."
Setelah mengucapkan beberapa kata penutup, Fadhil lekas memutuskan sambungan. Ia bergegas mengambil sweter dari lemari, lalu keluar kamar dan berpamitan dengan sang ibu. Ia jelaskan informasi dari Pak Ghani, dan ibunya bisa mengerti.
Dirinya mengambil kunci motor yang digantung di dinding ruang tengah, lalu bergegas ke motor yang masih terparkir di depan rumah. Ia naiki motor tersebut dan menyalakan mesin.
Fadhil melajukan motor meninggalkan kediamannya. Tanpa disadari, ia bisa menarik gas hingga kecepatan di atas enam puluh kilometer per jam. Padahal, ia selalu berhati-hati saat mengendarai motor.
Kepanikan bisa membuat seseorang bisa menaikkan kemampuan dan menghilangkan ketakutan.
Jalanan di malam hari tidak terlalu ramai, tetapi Fadhil harus tetap waspada. Ia butuh berkonsentrasi agar bisa selamat sampai tujuan. Sesampai di dekat rumah Putra, ia melihat kerumunan.
Dirinya lekas memarkir motor di lahan yang kosong. Ia pun bergegas memasuki wilayah rumah Putra lebih dekat dan mencari keberadaan Pak Ghani. Tidak butuh lama, ia dapat menemukan seseorang yang dicari. "Pak Ghani, bagaimana keadaan Putra?"
"Saya pun belum melihat Putra secara langsung karena bapak Hanifah langsung membawa Putra ke rumahnya. Di rumah sini hanya ada keluarga Hanifah, Pak RT, dan ibu Putra. Kamu kalau ingin melihat Putra, sebaiknya langsung ke rumah Hanifah saja," ucap Pak Ghani.
"Ke rumah Hanifah?" Ia merasa enggan karena barusan mendengar Pak Ghani berkata jika bapak dan ibu Hanifah tidak berada di rumah dan sedang berada di sini. "Tapi tidak ada lagi orang di sana selain Hanifah dan Putra?
"Memang hanya ada Hanifah dan Putra. Tapi karena Putra di sana, lebih baik kamu menengoknya. Siapa tahu Hanifah juga membutuhkan bantuan untuk menjaga Putra. Kamu tenang saja, tadi bapak Hanifah berpesan jika kamu datang langsung saja ke rumah."
"Bapak Hanifah tahu saya mau datang?" Fadhil terlihat heran.
"Saya yang memberitahu bapak Hanifah kamu akan datang karena kamu selaku wali kelas Putra," tutur Pak Ghani sambil memberi senyum.
Fadhil masih berpikir lagi untuk pergi ke rumah Hanifah atau tidak. Ia merasa tidak nyaman, tetapi hatinya begitu yakin jika tidak akan terjadi apa pun. Lebih tepatnya, ia tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak. Ia masih mawas diri. Begitu mendapat dorongan dari Pak Ghani untuk menjaga Putra, ia pun bersedia pergi.
Dengan hati yang berdebar karena akan bertemu Hanifah, ia berpegang teguh bahwa dirinya datang demi menjaga Putra. Ia harus ingat datang jauh-jauh ke desa ini agar bisa melihat keadaan Putra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Tanah yang Kering ✔️
RomanceBlurb: Kejadian ketika musim panas panjang yang membuat tanah dan tumbuhan mengering, bahkan hingga kekurangan air. Begitu juga cinta yang hampir mengering karena belum menemukan kembali rasanya jatuh cinta. Fadhil mulai mencari pasangan karena sud...