Bab 9: Pertemuan Yang Unik

20 7 0
                                    

Setelah pertemuan itu, Fadhil merasa tidak bisa melupakan sosok perempuan yang bersedia menjalani perkenalan dengannya. Perempuan desa yang berjilbab dan menunduk malu, serta senyum yang manis, membuatnya terkesan. Padahal sebelum pertemuan itu, ia sudah bertemu dengan perempuan itu sebagai sosok yang ramah dan menyenangkan.

Sesuai janjinya kepada keluarga perempuan, ia akan mengenal lebih jauh Hanifah––perempuan yang membuatnya terkesan. Fadhil mengunjungi Desa Tegalpingen, menggunakan sepeda. Ia ingin lebih menikmati suasana alam sambil mengayuh sepeda. Meski panas belum juga bergantikan hujan, meski peluh akan membasahi pakaian, ia tetap menikmati.

Fadhil disambut dengan senang oleh orang tua Hanifah ketika sampai. Ia pun menyalami mereka sebagai bentuk rasa hormat. Sambil menunggu sang perempuan, ia habiskan waktu untuk berbincang dengan mereka.

"Hanifah, kamu jangan lama-lama, Nak Fadhil sudah menunggu," panggil ibu Hanifah di ruang tengah yang terdengar hingga ke ruang tamu.

"Tidak apa-apa, Bu. Tidak perlu buru-buru. Biarkan Hanifah siap-siap," ucap Fadhil saat ibu Hanifah sudah kembali duduk.

"Padahal kami sudah memberitahunya kalau kamu akan datang. Malahan ia baru siap-siap. Maafkan anak saya, ya, sudah buat Nak Fadhil menunggu," ucap bapak Hanifah dengan santai.

"Tidak masalah, Pak." Fadhil tersenyum. Ia masih ada rasa canggung menghadapi kedua orang tua Hanifah meski sudah pernah bertemu sebelumnya.

Setelah menunggu agak lama, Hanifah pun keluar dari kamar. Pakaiannya terlihat rapi; kepala tertutup jilbab segi empat berwarna nila; atasan menggunakan blus biru muda lengan panjang; bawahan menggunakan rok cokelat muda panjang. Wajahnya tampak cerah tanpa make up berlebih, hanya bibir menggunakan lip balm berwarna merah muda.

Kesederhanaannya membuat Fadhil kagum.

Fadhil dan Hanifah keluar dari rumah setelah mendapat persetujuan dari orang tua Hanifah.

"Kamu tidak apa-apa kalau naik sepeda?" tanya Fadhil sambil menaikkan standar dengan kaki. Tangan memegang setang agar sepeda tidak jatuh.

"Lebih baik kita berjalan saja, bukankah udara juga masih segar." Hanifah tersenyum. Senyum yang menyegarkan di kala panas masih melanda.

"Izinkan saya sambil menuntun sepeda."

"Ya, baiklah."

Udara masih segar? Fadhil merasa itu hanya usaha Hanifah untuk mengelak naik sepeda dengannya. Baik di desanya maupun desa Hanifah mengalami dampak kekeringan yang sama selama musim panas. Udara terasa begitu menyengat meskipun di pagi hari. Saat siang hari, panas bisa lebih menyengat lagi.

Angin pun membawa aroma gersang, dan mengangkut debu yang lebih banyak. Fadhil harus menerima permintaan Hanifah untuk berjalan kaki di bawah mentari yang seakan menggodanya. Nikmati panas pagi ini. Udara panas yang segar.

Mereka pun sampai di jalan yang terhampar sawah. Kata Hanifah tempat itu merupakan tempatnya bermain ketika masih kecil––bermain di sawah. Fadhil pun berkata demikian, "Dahulu saya sering membantu ayah di sawah."

Fadhil memarkirkan sepeda di pinggir jalan.

"Ayo kita ke gubuk itu!" Tunjuk Hanifah ke tengah sawah.

"Tunggu!" Fadhil membuka tasnya, memgeluarkan sebuah payung berwarna biru dongker, lalu membukanya.

"Payung? Untuk apa?" Hanifah terheran.

"Saya sudah membawanya. Payung ini akan jadi berguna ketika digunakan. Biarkan saya menggunakan payung ini sesuai fungsinya."

"Bukankah payung ini berfungsi saat hujan. Sekarang kan tidak sedang hujan."

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang