Bab 5: Putra Yang Tertidur

35 9 0
                                    

Fadhil menganggap mengajar merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Ia menulis di papan tulis sambil menjelaskan, memberi tugas kepada murid-murid, lalu mengadakan tanya jawab. Ia begitu bersemangat saat berinteraksi dengan para murid. Baginya, membagi ilmu merupakan amal yang tidak akan pernah putus.

Tidak mudah untuk Fadhil bertahan mengajar karena ada beberapa murid yang sulit menuruti perintah. Ada juga yang membuat keributan di dalam kelas, seperti: berbincang, saling lempar kertas, dan bertengkar. Jika ada yang berbuat demikian, ia tidak segan untuk memberi hukuman dengan berdiri di depan kelas. Setelah itu, ia juga memberikan tugas tambahan untuk mereka kerjakan di rumah.

Namun saat mengajar kali ini, ia memperhatikan salah satu murid yang terlihat murung dan tidak semangat belajar. Ia pun menghampiri murid laki-laki di barisan sebelah kiri, yang duduk di kursi kedua dari belakang.

"Apa yang sedang kamu kerjakan?" ia melihat buku gambar berisi sketsa pemandangan. "Jadi ini kerjaan kamu saat jam pelajaran saya berlangsung?"

Murid yang berwajah tirus itu langsung pucat. Fadhil tidak menyangka anak didiknya begitu ketakutan. Ada rasa bersalah muncul, tetapi sudah tanggung jawabnya untuk menegur murid yang tidak menyimak pelajaran.

"Ke ruangan saya pada saat jam istirahat, dan sekalian kamu bawa buku bergambar itu." Hanya itu cara yang akan ia lakukan, menyuruh murid ke ruang guru, agar ketika memarahi tidak mempermalukan di depan teman-temannya.

Murid bernama Putra Winarno sudah menghadap Fadhil ketika jam istirahat berlangsung.

"Kamu duduk di situ." Fadhil menyuruh Putra duduk di kursi sebelah kanannya. "Kamu kenapa murung begitu? Sedang sakit?"

"Tidak, Pak. Saya tidak kenapa-kenapa," jawab Putra sambil menunduk.

"Boleh saya lihat buku gambar milikmu. Saya sering lihat kamu menggambar saat pelajaran berlangsung." Fadhil menerima buku gambar yang diberikan Putra, ia membuka lembar demi lembar. Ia merasa kagum dengan sketsa yang dilakukan oleh muridnya itu.

Meski begitu, ia tidak langsung menyanjung. Karena ia tahu, sanjungan bisa membuat seseorang berharap lebih. Jika seseorang berharap terlalu tinggi dan tidak dapat meraihnya, orang tersebut akan jatuh dan terluka. Ia tidak ingin muridnya mengalami kekecewaan tersebut. "Bukankah menggambar seperti ini akan menyita waktu belajarmu? Saya tidak melarang kamu memiliki hobi yang bagus seperti ini, tapi sebagai murid, kamu harus bisa mengatur waktu dengan baik. Kapan saatnya memperhatikan pelajaran, kapan saatnya menggambar, kapan saatnya kamu mengerjakan tugas. Saya juga sering memperhatikan nilaimu yang masih kurang dari yang lainnya. Jika seperti ini terus, kamu akan kesulitan ketika menghadapi ujian nanti."

"Ma... Maaf, Pak." Putra terlihat ketakutan dan gemetar.

Fadhil tidak menyangka tegurannya sampai membuat muridnya seperti itu. Namun, ia berusaha menenangkan sambil mengusap punggung Putra. "Sudah sudah, kamu tidak perlu takut. Saya hanya ingin kamu lebih fokus belajar. Jika kamu ada kesulitan, bisa temui saya. Jangan hanya kamu lampiaskan seluruhnya dengan hobi. Kamu juga harus berinteraksi dengan yang lain. Saya lihat kamu sering sendirian."

Putra terdiam. Tangan mengepal di atas lututnya. Kepala masih menunduk.

Punggung tangan Putra menjadi pusat perhatian karena terdapat banyak luka yang membekas. Fadhil juga memperhatikan Putra yang meringis ketika ia mengusap punggungnya. "Jika kamu tidak enak badan, lebih baik istirahat di UKS. Atau kamu ingin izin pulang?"

Putra menggeleng.

"Kamu sudah makan?"

Putra kembali menggeleng.

Fadhil membuka tasnya, lalu mengeluarkan tepak yang berisi bekal makan siang. "Bawalah dan jangan lupa habiskan. Saya tidak mau murid saya sampai sakit dan membuat orang tuanya khawatir." Tidak ingin muridnya semakin ketakutan, ia mengulaskan senyum.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang