Bab 10: Pertemuan Yang Terbaik

27 7 0
                                    

Hanifah meluncurkan kalimat yang tidak diduga. "Anggap saja itu pujian." Dengan wajah sudah memerah, ia terus menunduk agar tidak terlalu diperhatikan Fadhil. Sebuah kebiasaan yang tidak dapat ditahan, ia mengayunkan kaki untuk mencairkan kecanggungan.

"Terima kasih atas pujiannya. Saya terima ketulusanmu," ucap Fadhil, "kamu juga perempuan yang berbeda, kamu lebih menjaga jarak dengan saya, perempuan yang ramah dan baik. Jika kamu bersikap agresif kepada saya, saya pasti sudah lari meninggalkanmu ... anggap itu pujian, jadi kita impas."

Tidak pernah disangka, Hanifah akan terkekeh mendengar ucapan laki-laki di sampingnya. Sangat menyenangkan. Namun, ia tidak menumpahkan seluruh ekspresi kebahagiaan di depan Fadhil. Ia masih menjaga hati agar tidak mudah diterobos masuk oleh seseorang. Meski ia sadar Fadhil sedang berusaha mengetuk pelan-pelan. "Sudah semakin panas, lebih baik kita pulang. Ayo!" Ia turun dari gubuk.

"Baiklah." Fadhil buru-buru menaruh tepak makan dan botol minum ke tas, kemudian ia segera membuka payung kembali, dan mengejar Hanifah yang berjalan lebih dulu.

Hanifah menggeleng sambil tersenyum saat merasakan panas di kepala mulai menghilang.

Lagi-lagi, Fadhil memayungi.

"Kenapa tidak kamu pakai sendiri saja payungnya? Lihat kamu sudah cukup berkeringat," ucap Hanifah sambil memperlambat langkah. Ia selalu bersemangat sampai lupa bahwa ada seseorang yang khusus bertemu dengannya.

"Payungnya lebih memilih kamu. Bukankah dia berhak memilih siapa saja?" jawab Fadhil dengan tenang.

"Teori dari mana jika payung bisa memilih?"

Tawa ringan Hanifah berbaur dengan embusan angin gersang.

"Teori Fadhillah." Fadhil pun ikut terkekeh. "Menurut saya karena perempuan sebagai sosok yang begitu mulia, dan laki-laki diberi kekuatan lebih, jadi perempuan memiliki hak untuk dijaga dan dilindungi."

Jadi, dia bermaksud melindungiku? Hanifah berpikir sesaat. Wajahnya tiba-tiba memerah. Karena canggung, ia pun berjalan lebih cepat.

"Kamu kenapa buru-buru?" Fadhil mengikuti Hanifah berjalan cepat sambil terus berusaha memayungi perempuan itu. "Kamu sakit?"

"Tidak. Hanya sedikit bersemangat." Hanifah berhenti ketika sudah sampai di pinggir jalan. "Ayo pulang!" Ia berjalan ke arah rumahnya.

Fadhil buru-buru menutup payung, memasukkan ke tas, lalu dirinya memutar sepeda, kemudian menaikinya. Ia mengayuh hingga sampai ke samping Hanifah yang sudah jalan lebih dulu.

Hanifah pun berhenti.

"Ayo naik! Cuaca semakin panas. Kamu bisa dehidrasi jika terus berjalan di bawah terik matahari yang sepanas ini," ucap Fadhil yang sudah berkeringat. Ia tidak berusaha mengelap karena lupa membawa sapu tangan. Berjalan-jalan di tengah sawah kering bukan termasuk rencananya.

Hanifah memahami maksud baik Fadhil, tidak seharusnya ia terus-menerus menolak. Seperti yang ia sadari bahwa Fadhil telah memberikan sedikit cahaya di hati. Dengan perlahan, ia pun duduk menyamping di jok belakang.

Panas matahari tidak hanya memberi hawa panas ke bumi, tetapi juga memberi semangat kepada pemuda-pemudi yang sedang berjuang memadu kasih.

Hanifah turun dari sepeda ketika sudah sampai di depan rumah. Ia mengajak Fadhil masuk untuk bertemu orang tuanya.

"Kalian sudah pulang? Kenapa hanya sebentar?" sambut ibu Hanifah.

"Memangnya mau berapa lama, Bu? Hari juga sudah semakin siang, Bu, dan sekarang cuaca semakin panas. Tidak baik berlama-lama di luar, kan? Hanif juga tidak enak dengan Mas Fadhil," ucap Hanifah sambil memasuki rumah.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang