Bab 8: Pertemuan Yang Serius

16 8 0
                                    

Hari yang dinanti Hanifah telah tiba. Seorang laki-laki yang tidak dikenalnya berjanji akan datang ke rumah. Karena perintah dari orangtuanya, ia hanya menunggu di kamar, duduk di tempat tidur. Ia sudah menggunakan gamis bermotif batik berwarna cokelat muda serta kerudung segi empat berwarna krim.

Kakinya tidak bisa diam, ia gerakan maju mundur sehingga menyibak ujung rok. Jemari-jemari tangan pun mengetuk, mencubit benda yang disentuhnya.

Perasaan tidak nyaman dan suasana menjadi tegang. Setelah lama tidak menerima perjodohan, kali ini Hanifah bersedia menunggu untuk bertemu laki-laki pilihan orangtuanya. Saat ini sudah menjadi pilihannya, meskipun sulit, ia harus siap bertemu dengan sosok yang tidak dikenalnya sama sekali.

Dari dalam kamar, ia bisa mendengar perbincangan orangtuanya dengan Pak Ghani dan laki-laki itu.

"Sudah mengajar berapa lama?" tanya bapak Hanifah.

"Sudah hampir dua tahun. Pertama kali mengajar SD, baru-baru ini mengajar SMP," jawab laki-laki yang tidak lain adalah Fadhil.

"Orang tua bekerja apa?"

"Ayah saya sudah meninggal, jadi sekarang saya menjadi kepala keluarga. Ibu saya tidak bekerja."

"Innalillahi, maafkan Bapak, ya. Pasti kamu mengalami hari-hari yang berat."

"Tidak apa-apa, Pak."

Hanifah yang mendengarnya jadi terdiam. Laki-laki yang akan bertemu dengannya memikul beban yang berat, ditinggal ayahnya, dan mengurus ibunya sendiri. Ia merasa sangat beruntung karena masih memiliki keluarga yang utuh dan selalu memberikan kasih sayang.

"Nak Fadhil, saya ingin bertanya, apa alasan kamu menerima pertemuan ini? Kelihatan dari penampilan kamu, seharusnya sudah memiliki pasangan." Suara Bapak Hanifah kembali terdengar.

"Saya belum memiliki pasangan. Alasan saya menerima pertemuan karena Pak Ghani telah berbaik hati mengenalkan keluarga ini kepada saya. Saya juga percaya dengan beliau, dan ibu saya juga mendukung," jelas Fadhil begitu yakin.

"Nak Fadhil, anak perempuan saya merupakan anak satu-satunya, tentu saya tidak ingin mengecewakannya. Saya ingin tahu, apakah jika sudah mengenal anak saya, Pak Fadhil akan ke arah yang serius?"

Bukan hanya Fadhil yang tercengang, Hanifah juga terkejut dengan pertanyaan bapaknya. Ini bukan sekedar pertemuan biasa, Hanifah merasa sang bapak juga ingin laki-laki itu bisa menikahinya.

"Mengenai ke arah yang serius, saya tidak bisa memutuskan seorang diri. Harus melalui keputusan kedua belah pihak laki-laki dan perempuan. Jika saya serius, dan perempuan tidak bisa menerima saya, tentu hubungan tidak bisa dilanjutkan, begitu juga sebaliknya. Jika anak Bapak memang menerima saya, dan saya juga menerimanya, termasuk ibu saya, saya akan bicarakan ke arah serius dengan ibu saya," jawab Fadhil yang membuat Hanifah kembali terkejut.

Bukankah membicarakan hal ini terlalu cepat? Hanifah mengerti kedua orangtuanya juga berharap jika dirinya segera menikah, tetapi ketika dihadapkan dengan masalah ini, pikirannya kembali kacau, hatinya tidak tenang.

Menikah? Menikah? Menikah?

Tidak bisa dipungkiri, ketika mendengar laki-laki itu berbicara dengan bapaknya, ia merasa kagum. Cara bicara laki-laki itu yang sopan dan berani membuatnya penasaran. Ia juga merasa orangtuanya senang mengobrol dengan laki-laki itu. Mereka di luar kamar membicarakan hal-hal yang bahagia, sedangkan dirinya merasa tertekan dengan pikiran sendiri.

Ia cukup lama berdiam diri di kamar, dan terasa sangat membosankan. Entah kenapa oksigen dalam ruangan seakan berkurang? Biasanya juga dirinya betah berlama-lama dalam kamar.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang