Satu hari setelah Fadhil memberikan jawaban setuju, saat itu juga Pak Ghani menentukan tanggal dan hari pertemuan. "Saya sudah memberitahukan keputusanmu kepada keluarga perempuan. Mereka juga sudah bersedia jika kamu akan datang bersilaturahmi," ucapnya sepulang sekolah.
"Jadi, mereka bersedia? Alhamdulillah. Lalu apa yang selanjutnya harus saya lakukan?" Fadhil mulai antusias, meski ada rasa gusar karena sudah lama ia tidak berurusan dengan perempuan, apalagi dengan orang tuanya. Ruang guru sudah termasuk sepi, tersisa tinggal dirinya dan Pak Ghani.
"Karena mereka sudah setuju, lebih cepat kamu datang ke sana itu lebih baik. Bagaimana kalau minggu ini, hari Minggu?"
"Hanya hari itu yang libur, tentu saja bisa. Lalu apa yang harus saya persiapkan?" Kali pertama Fadhil berencana ke arah yang serius, ia belum memiliki bekal sama sekali menghadapi pertemuan itu.
"Kamu cukup berpakaian rapi dan sopan. Oh iya, jangan lupa membawa buah tangan!"
Fadhil mengernyit. Ia mengerti maksud dari kiasan yang disampaikan Pak Ghani, tetapi dirinya sama sekali tidak tahu sesuatu yang harus disiapkan tersebut berupa benda atau lain-lain. "Berarti saya harus membawa buah atau oleh-oleh? Ini kan masih di kampung, Pak Ghani, kenapa saya harus bawa oleh-oleh?"
"Pak Fadhil, maksudnya bawa sesuatu itu apa saja. Bisa makanan, buah, atau barang." Pak Ghani tersenyum lebar hingga deretan gigi terlihat. Mata dengan kelopak mulai keriput pun menyipit.
"Begitu, ya? Saya akan memikirkannya. Lalu apa lagi?"
"Siapkan fisik dan mental. Jangan sampai ke sana kamu terlihat lesu. Kamu harus terlihat gagah, penuh pesona, dan sopan."
"Sepertinya akan membuat saya canggung. Haruskah seperti itu?" Dalam hati, Fadhil ingin sekali tampil dengan baik sesuai saran-saran dari Pak Ghani. Namun, pikirannya mulai terusik dengan penampilan diri yang belum termasuk gagah.
"Jangan sampai kamu membuat mereka kecewa. Laki-laki yang baik akan cepat dapat lampu hijau."
"Saya mengerti. Lalu apa lagi?"
"Siapkan hati. Kamu harus siap jika akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Perempuan itu begitu salihah, sudah pasti akan menarik hatimu."
Fadhil senyum-senyum membayangkan perempuan berjilbab. Sungguh, ia memang mengidamkan perempuan yang bersedia menutup aurat.
Setelah perbincangan dengan Pak Ghani, Fadhil pulang ke rumah dan membicarakan hal pertemuan dengan ibunya. Setelah selesai makan malam, ia pun memulai percakapan, "Bu, Fadhil kan sudah berencana menerima pertemuan yang Pak Ghani tawarkan. Kami sudah menentukan harinya."
"Alhamdulillah. Kapan, Dhil? Wah, anakku harus berusaha keras ini." Ibu Fadhil turut tersenyum, ikut berbahagia.
"Hari Minggu, Bu."
"Cepat sekali, Dhil. Apakah kamu sudah benar-benar siap? Ibu hanya berharap kali ini kamu tulus dan ikhlas atas pertemuan ini."
"Pak Ghani yang menentukan harinya. Fadhil mengerti, Bu. Memang awalnya Fadhil merasa belum siap, tapi kalau menunggu siap tidak tahu akan sampai kapan."
"Terus, kamu setuju saja?"
Fadhil mengangguk.
"Kamu juga sepertinya memang tidak sabar. Ibu senang melihatmu semangat seperti ini." Ibu Fadhil tersenyum senang. "Anakku semakin dewasa, harus segera menemukan pasangan hidupnya. Semoga perempuan itu yang terbaik buatmu, ya, Dhil."
"Aamiin." Wajah Fadhil memerah. "Oh ya, Bu, kata Pak Ghani aku harus membawa sesuatu. Apakah Ibu ada ide aku harus bawa apa? Bisakah Ibu membantuku menyiapkannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Tanah yang Kering ✔️
RomanceBlurb: Kejadian ketika musim panas panjang yang membuat tanah dan tumbuhan mengering, bahkan hingga kekurangan air. Begitu juga cinta yang hampir mengering karena belum menemukan kembali rasanya jatuh cinta. Fadhil mulai mencari pasangan karena sud...