Bab 2: Kegagalan Yang Mengusik

36 14 2
                                    

Sejak suhu panas menghantam desa Pengadegan, hampir setiap hari warga desa mengantre air di Tangki Air dari Pemerintah. Seperti halnya Hanifah Larasati, perempuan berjilbab segi empat berwarna biru tua, memiliki kulit sawo matang, ikut mengantre sambil membawa dua jeriken besar. Jeriken yang biasa dipakai untuk membeli bensin.

Dari rumah ke tempat pengambilan air lumayan jauh, sehingga Hanifah menitipkan jeriken yang sudah diisi melalui pamannya yang membawa motor. Dirinya tidak membawa apa-apa lagi, pulang dengan berjalan kaki.

Sambil melangkah, ia menyandungkan rok dengan kaki agar tidak terinjak. Baru berjalan beberapa meter, rasa lelah dan haus melingkupi. Panas cukup menyengat, padahal matahari sudah makin menurun. Hanifah memandangi sekitar, tetapi tidak lagi melihat pemandangan hijau yang menyegarkan mata. Kini warnanya lebih banyak yang menguning dan kecokelatan. Tanah-tanah mengering. Debu bertaburan lebih banyak ketika tertiup angin yang membawa hawa panas.

"Assalamualaikum, Bu Hanifah," sapa anak-anak sekolah dasar yang sedang bermain bola di lahan kosong.

"Waalaikumsalam. Kalian mainnya jangan lama-lama, ya. Cuaca lebih panas dari biasanya. Kalian harus jaga kesehatan. Besok kan kalian harus sekolah." Hanifah memberi nasihat layaknya ibu-ibu yang menasihati anak-anak. Padahal ia masih tergolong muda.

"Baik, Bu Hanifah."

"Nanti malam kalian mengaji, kan, ke masjid?"

"Iya, Bu."

Setelah pamit dengan murid-muridnya, ia lanjut berjalan.

Orang tua Hanifah termasuk keluarga terpandang di desa Tegalpingen, ayahnya memiliki beberapa hektar sawah yang digarap warga yang membutuhkan pekerjaan.  Aktivitas Hanifah membantu ibunya berjualan di warung makan ketika pagi sampai siang hari, sedangkan saat malam sehabis Isya, ia mengajarkan mengaji di masjid. Banyak yang mengenalnya sebagai perempuan yang ramah dan shalihah.

Meskipun begitu, kisah asmara Hanifah tidak begitu mulus. Ia pernah hampir bertunangan, tetapi sang lekaki mundur di tengah jalan karena lebih memilih perempuan lain yang dicintainya. Semenjak itu, Hanifah lebih tertutup dengan laki-laki.

Ia memutuskan untuk melakukan hal yang positif dengan mengajar mengaji dan tidak terlalu terburu-buru untuk menikah. Ia serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa, termasuk urusan jodoh.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Hanifah sampai di gang rumahnya. Ia bertemu laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun yang berjalan menghampirinya.

"Hanifah, kamu dari mana?" tanya laki-laki itu yang tidak lain adalah Pak Ghani.

"Dari antre air bersih, Pak. Pak Ghani habis dari rumah Hanifah, ya? Tadi sepertinya keluar dari rumah."

"Iya, Hanifah, tadi Bapak habis menemui ibu dan bapakmu. Harusnya tadi bicara denganmu juga, tapi kamu sedang tidak ada."

Hanifah mengernyit, mulai penasaran. "Bicara apa, Pak? Kenapa harus ada Hanifah?"

"Sebaiknya kamu pulang. Biar ibumu yang memberitahumu." Pak Ghani senyum-senyum, seperti ada sesuatu yang menyenangkan. "Bapak pamit, ya, mau pulang."

Hanifah mengangguk. Melihat senyuman Pak Ghani, ia menjadi makin ingin tahu sesuatu yang dirahasiakan ini. "Kalau begitu, biar Hanifah tanya ibu langsung saja, ya. Terima kasih, Pak. Hati-hati di jalan."

Ia pun melanjutkan langkah menuju rumah yang sudah terjangkau mata. Sesampai di kediamannya, Hanifah memberi salam lalu masuk. Dirinya langsung disambut bapak dan ibunya yang sedang duduk di ruang tamu.

"Tadi Pak Ghani ke sini, ya?" tanya Hanifah, "Barusan bertemu di jalan."

"Kamu duduk dulu, Nif!" Bapak Hanifah pindah ke kursi lain untuk membiarkan Hanifah duduk di sebelah sang ibu. "Benar, tadi Pak Ghani ke sini. Menyampaikan hal yang penting menyangkut kamu."

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang