Bab 16: Keberanian Yang Peduli

13 5 0
                                    

Azan Isya berkumandang, para jemaah bergiliran memasuki Masjid. Semakin lama, barisan semakin penuh, hingga tersisa beberapa baris dari belakang. Salat Isya berjamaah pun dilaksanakan. Begitu selesai salat dan berdoa, beberapa ustazah dan guru mengaji berkumpul di bagian khusus perempuan. Setelah jemaah banyak yang meninggalkan ruangan, satu per satu murid mengaji memasuki ruangan.

Seperti biasa, proses mengaji dimulai dari murid yang membaca Iqra hingga Alquran. Setelah semua selesai, Hanifah meminta Putra untuk menunggunya di depan. Tak lama berselang, ia pun keluar Masjid menemui Putra. "Saya ingin mengantarkan kamu pulang," ucapnya ramah.

"Ada apa, Bu Hanif? Biasanya saya pulang sendiri." Putra mengerutkan dahi.

"Ada yang ingin saya bicarakan dengan ibumu." Hanifah tersenyum.

Putra pun mengangguk mengerti, lalu melangkah mendahului Hanifah. Setelah lama berjalan, keduanya pun sampai di rumah. Ia dan Hanifah memberi salam hingga pintu terbuka. Terlihat ibunya keluar mengenakan daster berlengan pendek.

"Selamat malam," sapa Hanifah berusaha tetap tenang.

"Ada apa ya, Bu Hanif, malam-malam ke rumah?" tanya ibu Putra.

Hanifah mengumpulkan keberanian untuk menghadapi ibu Putra. Seperti yang ia ketahui bahwa emosi ibu Putra kadang tidak terkendali. "Saya ingin menyampaikan, jika besok, Putra mengaji di tempat saya."

"Kenapa begitu? Apa Bu Hanif ingin mengambil keuntungan seorang diri?"

Benar saja, belum apa-apa, Hanifah sudah mulai dituduh yang bukan-bukan. "Bukan seperti itu, Bu. Hanya saja, Putra sulit memahami bacaan yang benar, jadi saya, ingin Putra lebih fokus belajar. Jika di Masjid kan waktunya lebih sedikit, saya memutuskan, khusus ingin mengajar Putra, lebih lama lagi. Karena itu, saya ingin mengajarnya di rumah saya."

"Kenapa harus di rumah Bu Hanif? Di rumah ini juga bisa, kan?" Ibu Putra mengernyit dan menatap tidak senang.

"Kebetulan, ibu saya juga ingin sekali, Putra belajar mengaji di rumah. Ibu saya akan membantu mengajar juga. Jadi, Putra bisa lebih cepat paham."

"Kalau saya tidak mengizinkan bagaimana? Jangan-jangan nanti kalian meminta bayaran tambahan lagi. Maaf, saya tidak punya jika harus membayar."

Hanifah menggeleng. "Tidak ada. Tidak ada bayaran tambahan. Saya hanya ingin Putra lebih baik lagi mengajinya."

"Jika tidak ada bayaran, Putra boleh mengaji di rumah Bu Hanif. Tapi jika ada, saya tidak akan mau bayar." Ibu Putra bermuka ketus.

Putra cemberut, menunjukkan rasa tidak enak atas sikap ibunya ke Hanifah.

Hanifah mengetahui itu dan langsung memberikan senyum, berusaha menunjukkan bahwa ia tidak masalah dengan sikap ibu Putra. "Jika Ibu sudah mengizinkan, mulai besok, Putra, saya tunggu di rumah setelah salat Isya." Ia kemudian pamit pulang kepada Putra dan ibu Putra.

Dirinya tidak menyangka jika benar-benar melakukan ini. Ia beranikan diri agar Putra bisa belajar mengaji di rumah. Saran dari Fadhil, ia coba terapkan. Sebelum-sebelumnya, ia tidak memedulikan hal-hal seperti ini, terutama masalah murid-muridnya. Sekarang ada perasaan berdebar, rasa ingin membantu, rasa ingin berjuang.

Malam setelah pertemuannya dengan ibu Putra, Hanifah tengah menunggu kehadiran Putra di rumah. Meski salat Isya berjemaah, tetapi Hanifah pulang lebih dahulu.

Sembari menunggu, ia memegang Al-Qur'an, melafalkan ayat-ayat dengan suara yang merdu. Begitulah cara Hanifah menikmati kesunyian.

Derap langkah sandal di luar rumah, terdengar hingga ke telinga Hanifah. Ia lekas mengakhiri bacaan, lalu menutup kitab islami tersebut.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang