Bab 17: Kesehatan Yang Menurun

11 3 0
                                    

Duduk bersandar sebentar di sofa membuat Fadhil merasa tulang-tulangnya sangat nyaman. Mata ingin sekali terpejam, tetapi beberapa pikiran masih membuatnya tetap terjaga. Beberapa hari ini, Fadhil menggunakan tenaga lebih banyak. Ia mengayuh sepeda dari Tegalpingen ke Panunggalan. Kaki pegal hingga berasa ingin lepas dari bagiannya.

"Fadhil, kamu sudah pulang?" tanya ibu Fadhil yang muncul dari ruang tengah. "Kamu kenapa lesu begitu?"

"Kaki tangan pada pegal, beberapa hari ini bersepeda lumayan jauh," jawab Fadhil.

"Kenapa tidak membawa motor saja?"

Fadhil terdiam. Meski menaiki sepeda cukup melelahkan, ia merasa itu lebih baik dan menyehatkan daripada menggunakan motor. Fadhil juga selalu terbayang almarhumah ayahnya jika menggunakan motor.

"Ibu tahu kamu sibuk beberapa hari ini, tapi seharusnya kamu juga perhatikan kesehatanmu. Apa kamu lupa besok ingin datang ke rumah Hanifah?"

"Besok Fadhil pasti berangkat, Bu. Ibu yang seharusnya istirahat, besok akan melalui perjalanan jauh."

"Ibu mana bisa istirahat, kerjaan rumah masih menumpuk." Ibu Fadhil tersenyum.

"Biar Fadhil bantu, Bu." Fadhil berdiri. Meski badannya terasa sakit, ia tidak akan membiarkan ibunya cemas.

"Sudah, tidak perlu. Kamu ganti baju terus istirahat di kamar. Ingat, harus perhatikan kesehatan! Besok merupakan hari yang penting, kamu tidak boleh melewatkannya."

Fadhil mengangguk, kemudian ia meninggalkan ruang tamu, melangkah menuju kamar. Ia mengganti pakaian, lalu naik ke kasur, meluruskan kaki, menidurkan badan. Tidak butuh waktu lama, mata menjadi semakin berat, hingga akhirnya tertutup.

Selang beberapa menit, ibu Fadhil masuk ke kamar. Langkahnya semakin mendekati sang anak. Ia memegang gelas yang berembun dan berasa dingin. Karena melihat Fadhil yang tertidur, ia menaruh gelas di meja.

Ibu Fadhil memandangi wajah anaknya dan merasa sedih melihat Fadhil bekerja terlalu keras hingga tidur pun terlihat tidak nyaman. "Sepertinya kamu lelah sekali, Dhil. Tidak biasanya kamu tidur secepat ini. Kalau begitu, kamu istirahat yang cukup. Ibu tahu kamu tidak akan cerita karena tidak ingin Ibu cemas. Tapi tanpa kamu beritahu, Ibu bisa merasakannya. Anaknya sakit, tentu Ibu tahu. Ibu ingin kamu bisa peduli dengan dirimu sendiri, karena Ibu sudah tidak bisa menjagamu dua puluh empat jam seperti saat kamu masih kecil." Dirinya mengusap pelan kening Fadhil. Setelah itu, ia mematikan sakelar lampu dan meninggalkan sang anak di kamar sendirian agar beristirahat.

Malam semakin larut, Fadhil mengernyit. Tubuhnya merasakan ketidaknyamanan. Perlahan, ia berusaha membuka mata, tetapi tidak juga melebar. Kelopak mata kembali menutup. Berulang kali ia melakukan itu, hingga samar-samar melihat atap dalam kegelapan.

Meski belum seratus persen sadar dan mata terasa sayup, panca inderanya masih bisa berfungsi. Ia dapat mendengar berbagai suara yang mengisi kesunyian malam.

Keringat mengucur, ia merasakan cairan tersebut sudah memenuhi dahi serta pipi. Kekeringan mulai terasa di tenggorokan. Ia berniat untuk bangun, tetapi kepala tiba-tiba berdenyut.

Kenapa pusing begini? Pasti akibat aku tidur terlalu pulas.

Fadhil mencoba untuk beranjak dari tempat tidur, tetapi baru mengangkat kepala sebentar, perutnya bergemuruh. Ia kembali mengernyit. Sesuatu dari dalam perut seperti hendak keluar ke atas memerintahkannya agar segera bangun. Kemudian, ia turun dari kasur hendak berpegangan dengan meja, tetapi ia menyenggol gelas yang tidak disadari keberadaannya.

Gelas terguling pelan dan air tumpah membasahi meja hingga turun ke lantai.

Akibat dorongan dari dalam perut yang tidak mau berhenti, Fadhil mengabaikan gelas tersebut. Dengan langkah berat, ia bergegas meninggalkan kamar menuju kamar mandi.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang